Jumat 28 Feb 2020 17:17 WIB

Petambak Minta Harga Acuan Garam, Kemendag: Belum Selesai

Pemerintah perlu menjadikan garam sebagai komoditas bahan pokok.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Petani memanen garam di Kelurahan Pallengu, Bangkala, Jeneponto, Sulawesi Selatan. ilustrasi
Foto: Antara/Arnas Padda
Petani memanen garam di Kelurahan Pallengu, Bangkala, Jeneponto, Sulawesi Selatan. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan menyatakan, proses pembuatan harga acuan garam lokal yang diproduksi para petambak rakyat masih belum selesai. Belum ada kepastian kapan kebijakan itu akan diterbitkan untuk melindungi usaha garam lokal.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Suhanto menjelaskan bahwa untuk membuat harga acuan maka komoditas garam harus menjadi bagian dari komoditas bahan pokok dan penting yang diakui pemerintah.

Baca Juga

Untuk menjadikan garam sebagai bahan pokok maka harus dilakukan revisi Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015. "Kami sedang mengusulkan garam dengan revisi Perpres tersebut," kata Suhanto saat dihubungi, Jumat (28/2).

Hanya saja, Suhanto tidak ketika ditanya soal kendala maupun hambatan dalam proses kebijakan tersebut. Kebijakan untuk menetapkan harga acuan garam diputuskan sejak Agustus lalu menyikapi jatuhnya harga garam yang sempat menyentuh Rp 150 per kilogram.

Diketahui, draf revisi Perpres 71 Tahun 2015 telah diserahkan kepada Sekretariat Kabinet untuk mendapatkan persetujuan Presiden Joko Widodo. Tanpa restu presiden, rencana pembentukan harga acuan garam tidak bisa terealisasi.

Ketua Umum Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia, Jakfar Sodikin, menyampaikan harapan besar petambak agar kebijakan itu segera terealisasi. Tanpa dorongan dari pemerintah sendiri, perbaikan harga garam lokal akan sulit dicapai dan petambak terus berada dalam ketidakpastian usaha.

"Kami harapkan ada harga pokok pembelian sekaligus acuan harga terendah supaya ada keterjaminan petambak garam untuk membuat garam," kata Jakfar.

Jakfar mengatakan, kebijakan harga acuan juga perlu disegerakan mengingat pada awal Mei mendatang akan memasuki masa penambakan garam. Musim panen raya diperkirakan dimulai pada bulan Juni mendatang.

Menurut dia, jika tidak terdapat perbaikan harga, maka dikhawatirkan harga garam akan semakin jatuh pada saat panen raya. Situasi itu akan semakin menekan minat petambak garam untuk melanjutkan profesinya.

Ketua Asosiasi Petambak Garam Nusantara, Achmad Solechan, menambahkan bahwa suplai berlebih tengah terjadi sejak awal tahun 2019. Pemerintah harus membuat kebijakan untuk melindungi petambak garam yang selama ini memproduksi garam lokal untuk kebutuhan masyarakat.

Menurut dia, untuk garam lokal dengan kandungan natrium klorida (NaCl) antara 80-90 persen seharusnya minimal dihargai Rp 500 per kg. Sebab, biaya produksi rata-rata untuk garam di Jawa Tengah dan Jawa Barat sekitar Rp 400 per kg sehingga petambak bisa mengambil untung Rp 100 per kg.

"Harga acuan sangat penting. Kita mendorong setidaknya garam standar yang kebanyakan diproduksi petambak itu dihargai minimal sekali Rp 500 per kg," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement