Jumat 28 Feb 2020 16:44 WIB

Petambak Minta Pemerintah Segera Tetapkan Harga Acuan Garam

Jika tak ada acuan dikhawatirkan harga garam akan semakin jatuh pada saat panen raya.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Petani mengangkut garam yang baru saja dipanen di Palu, Sulawesi Tengah. ilustrasi
Foto: Antara/Basri Marzuki
Petani mengangkut garam yang baru saja dipanen di Palu, Sulawesi Tengah. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Janji pemerintah untuk menetapkan harga acuan pembelian garam lokal di tingkat petambak tak kunjung terealisasi. Para petambak garam meminta pemerintah untuk segera memutuskan harga acuan pembelian untuk memperkuat harga di pasar bebas.

Ketua Umum Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia, Jakfar Sodikin, mengatakan, pihaknya berharap besar agar kebijakan itu segera terealisasi. Tanpa dorongan dari pemerintah sendiri, perbaikan harga garam lokal akan sulit dicapai dan petambak terus berada dalam ketidakpastian usaha.

Baca Juga

"Kami harapkan ada harga pokok pembelian sekaligus acuan harga terendah supaya ada keterjaminan petambak garam untuk membuat garam," kata Jakfar kepada Republika.co.id, Jumat (28/2).

Jakfar mengatakan, kebijakan harga acuan juga perlu disegerakan mengingat pada awal Mei mendatang akan memasuki masa penambakan garam. Musim panen raya diperkirakan dimulai pada bulan Juni mendatang.

Menurut dia, jika tidak terdapat perbaikan harga, maka dikhawatirkan harga garam akan semakin jatuh pada saat panen raya. Situasi itu akan semakin menekan minat petambak garam untuk melanjutkan profesinya.

"Sekarang saja gairah sudah berkurang karena harga murah. Ini sudah tidak ada minat petambak. Kalau tidak ada minat, tambak tidak akan dirawat. Produktivitas dari semula 100 ton per hektare bisa turun," kata Jakfar.

Jakfar menambahkan, garam di Madura, Jawa Timur sebagai pusat sentra yang menghasilkan kualitas terbaik hanya dihargai Rp 300 per kilogram (kg) untuk kualitas II serta Rp 400 per kg untuk kualitas I. Adapun harga pokok produksi garam di Madura berkisar antara Rp 900 per kg - Rp 950 per kg.

Pihaknya pun memastikan, alif profesi petambak garam tidak bisa dihindari jika lapangan usaha di sektor pergaraman tidak menjanjikan. Lambat laun, impor garam akan terus meningkat karena garam merupakan komoditas yang tidak bisa disubstitusi dengan komoditas lainnya.

Ketua Asosiasi Petambak Garam Nusantara, Achmad Solechan, menambahkan bahwa suplai berlebih tengah terjadi sejak awal tahun 2019. Pemerintah harus membuat kebijakan untuk melindungi petambak garam yang selama ini memproduksi garam lokal untuk kebutuhan masyarakat.

Menurut dia, untuk garam lokal dengan kandungan natrium klorida (NaCl) antara 80-90 persen seharusnya minimal dihargai Rp 500 per kg. Sebab, biaya produksi rata-rata untuk garam di Jawa Tengah dan Jawa Barat sekitar Rp 400 per kg sehingga petambak bisa mengambil untung Rp 100 per kg.

"Harga acuan sangat penting. Kita mendorong setidaknya garam standar yang kebanyakan diproduksi petambak itu dihargai minimal sekali Rp 500 per kg," ujarnya.

Hanya saja Achmad menegaskan bahwa harga acuan yang ditetapkan harus benar-benar acuan pembelian di tingkat petani. Dengan kata lain belum memasukkan komponen biaya angkut dan transportasi garam. "Kita sudah seringkali berdiskusi dengan pemerintah, tapi pemerintah sering naik-turun," ucapnya.

Pakar Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor, Nimmi Zulbainarni, mengatakan, masalah jatuhnya harga garam yang sudah terjadi sejak tahun lalu murni akibat hukum ekonomi permintaan dan penawaran.

Ia menyebut, marak terjadi penyalahgunaan garam impor untuk industri yang dibocorkan ke pasar menjadi garam konsumsi. Hal itu lantas membuat garam lokal kalah saing dan membuat petambak merugi. Oleh sebab itu, pemerintah harus memperkuat pengawasan distribusi garam antara garam lokal dan impor.

Setelah pengawasan dijalankan dengan baik, harga acuan akan sangat membantu untuk menstabilkan fluktuasi garam. "Ini bisa melindungi mereka petambak dari kejatuhan harga disaat suplai garam lokal sedang naik," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement