REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Pertemuan sejumlah menteri keuangan dan gubernur bank sentral dari negara anggota G20 di Riyadh akhir pekan ini turut membahas pajak digital. Dalam pertemuan hari pertama, Sabtu (22/2), para pejabat G20 menyerukan, seluruh negara G20 harus bersatu untuk mengurus optimalisasi pajak secara agresif raksasa-raksasa digital global seperti Google, Amazon dan Facebook.
Aturan global sedang dikembangkan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (Organizations for Economic Cooperation and Development/ OECD) agar para perusahaan digital membayar pajak di negara tempat mereka melakukan bisnis, tidak sekadar di lokasi anak perusahaan mereka.
Dilansir Reuters, Sabtu, OECD menyebutkan, kebijakan ini dapat meningkatkan pendapatan pajak secara nasional hingga 100 miliar dolar AS per tahun.
Seruan untuk bersatu ini banyak diarahkan pada Amerika Serikat (AS), rumah bagi banyak perusahaan teknologi besar. Apalagi, AS akan mengadakan pemilihan umum pada November. Para pejabat G20 cemas, pemerintahan baru akan membuat kebijakan baru yang menghambat regulasi pungutan pajak digital.
“Tdak ada waktu sampai menunggu pemilihan," ujar Menteri Keuangan Jerman Olaf Scholz dalam seminar pajak yang diadakan di sela-sela pertemuan G20.
Isu pajak perusahaan digital dan dampak wabah corona terhadap ekonomi global adalah beberapa topik hangat yang dibicarakan dalam pertemuan para pemimpin keuangan G20 selama akhir pekan ini. OECD sendiri sudah memiliki gambaran kebijakan. Mereka ingin menetapkan tarif minimum yang efektif untuk memungut pajak perusahaan-perusahaan digital. Mereka akan mencari kesepakatan pada awal Juli yang ditargetkan dapat disahkan oleh G20 pada akhir tahun.