Rabu 19 Feb 2020 13:13 WIB

Teh dan Kopi Kemasan akan Dikenakan Cukai, Ini Potensinya

Potensi pendapatan dari cukai teh dan kopi kemasan mencapai Rp 6,25 triliun.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Kopi kemasan (ilustrasi). Pemerintah berencana mengenakan cukai pada teh dan kopi kemasan, potensi pendapatan negara mencapai Rp 6 triliun.
Foto: Republika/Friska
Kopi kemasan (ilustrasi). Pemerintah berencana mengenakan cukai pada teh dan kopi kemasan, potensi pendapatan negara mencapai Rp 6 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, rencana pengenaan cukai minuman pemanis dalam kemasan mampu menghasilkan pendapatan negara hingga Rp 6,25 triliun. Syaratnya, cukai yang diterapkan adalah sebesar Rp 1.500 hingga Rp 2.500 per liter.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, penerapan cukai diterapkan ke tiga produk minuman pemanis dalam kemasan dengan tarif berbeda. Produk teh kemasan dikenakan tarif Rp 1.500 per liter dengan potensi penerimaan Rp 2,7 triliun. 

Baca Juga

Sementara itu, produk karbonasi dan lainnya seperti minuman energi, kopi dan konsentrat masing-masing dikenakan tarif cukai Rp 2.500 per liter. Potensi penerimaannya masing-masing Rp 1,7 triliun dan Rp 1,85 triliun.

"Apabila ini semua dikenakan, total potensi penerimaan Rp 6,25 triliun," ujar Sri dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (19/2). 

Penerapan cukai terhadap minuman pemanis dalam kemasan bukan tanpa alasan. Sri menjelaskan, minuman ini berpotensi menimbulkan penyakit diabetes melitus yang kini jumlahnya terus meningkat, terutama seiring kenaikan pendapatan masyarakat. 

Sri menuturkan, berbagai negara sudah berupaya melakukan pengendalian konsumsi gula sebagai salah satu upaya hidup lebih sehat. Misalnya saja di Singapura yang melakukan kampanye besar-besaran untuk membatasi konsumsi gula serta karbohidrat. 

Negara yang lebih maju seperti New York bahkan sudah melakukan labelling pada tiap produk makanan dan minuman. Setiap produsen wajib memberikan penjelasan mengenai kandungan kalori di masing-masing produk makanan maupun minuman mereka. 

Untuk Indonesia, pembatasan konsumsi minuman pemanis atau gula dapat dilakukan dengan instrumen cukai. Sri mengatakan, apabila disetujui, cukai akan diterapkan pada minuman mengandung pemanis yang siap dikonsumsi. Selain itu, konsentrat yang dikemas dalam bentuk penjualan eceran dan konsumsinya masih membutuhkan proses pengenceran. 

Tapi, cukai pun dikecualikan untuk barang yang dibuat dan dikemas nonpabrikasi. "Misal, UMKM, akan tidak dipungut," tutur Sri. 

Kemudian, madu dan jus sayur tambahan gula pun turut dikecualikan. Cukai juga tidak akan dipungut untuk barang yang akan diekspor. 

Subjek cukai yang dituju adalah pabrikan maupun importir. Tarifnya bersifat multi tarif, berdasarkan kandungan gula dan pemanis.

"Kadar gula lebih tinggi, maka cukai lebih tinggi. Ini berdasarkan logika apabila cukai berfungsi sebagai pengendali konsumsi," kata Sri. 

Pembayaran cukai dilakukan ketika produk dikeluarkan dari pabrik atau pelabuhan secara berkala tiap bulan. Pengawasan dilakukan melalui registrasi pabrikan, pelaporan produksi, pengawasan fisik dan audit. 

Sri mengakui, pihaknya belum dapat menggambarkan dampak dari penerapan cukai minuman pemanis dalam kemasan terhadap inflasi. Tapi, ia memprediksi, dampaknya lebih besar dibandingkan cukai plastik yang diproyeksi menimbulkan inflasi 0,045 persen. 

"Karena ini (minuman pemanis dalam kemasan) mungkin jauh lebih tinggi, karena menyangkut produk yang langsung dikonsumsi," ucapnya. 

Selain minuman pemanis dalam kemasan, Kemenkeu juga mengusulkan penerapan cukai pada kantong plastik dan emisi kendaraan bermotor dalam kesempatan yang sama. 

Sejumlah anggota Komisi XI DPR memberikan apresiasi terhadap rencana pemerintah. Salah satunya, Anggota Komisi XI DPR dari Partai Golkar Sarmuji. Hanya saja, ia meminta kepada Kemenkeu untuk membuat peta jalan yang lebih detail dan berkelanjutan dengan sosialisasi memadai. 

Pembuatan roadmap harus diberikan batasan waktu (deadline) untuk kemudian disetujui bersama-sama dengan pihak legislatif. "Jangan sampai kebijakan ini digantung, terutama yang sudah tersosialisasi dan lebih mudah diambil keputusannya," ucap Sarmuji. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement