Selasa 18 Feb 2020 10:39 WIB

Melawan Pelemahan Kinerja BTN

Kebijakan BTN menurunkan kredit berkualitas rendah membuat rasio kredit macet naik

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Pahala N. Mansury memberikan paparannya dalam Media Briefing & Lunch di Kantor Wilayah Bank BTN Cawang, Jakarta, Senin (17/2).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Pahala N. Mansury memberikan paparannya dalam Media Briefing & Lunch di Kantor Wilayah Bank BTN Cawang, Jakarta, Senin (17/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN berupaya melawan pelemahan kinerja agar tidak terjadi kembali pada tahun ini. Tercatat, pada 2019 laba bersih BTN merosot sebesar 92,55 persen menjadi Rp 209,6 miliar dari Rp 2,81 triliun pada 2018.

Perseroan pun melakukan langkah-langkah strategis agar kinerja tetap cemerlang pada tahun ini. Salah satunya perseroan  berencana membentuk unit kerja baru untuk mempercepat penyelesaian kredit bermasalah dan sentralisasi penanganan untuk mempercepat penjualan kredit bermasalah.

Rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) BTN melonjak tinggi pada akhir 2019. Hingga 31 Desember 2019, NPL gross sebesar 4,78 persen atau naik dibandingkan periode sebelumnya 2,81 persen dan rasio NPL nett sebesar 2,96 persen atau naik dari tahun lalu 1,83 persen.

Direktur Utama BTN Pahala N Mansury mengatakan perseroan  akan meningkatkan penjualan melalui kerja sama dengan Perusahaan Pengelola Aset (PPA) dan Sarana Multigriya Finansial termasuk mengambil jalur hukum.

“Kenaikan kredit bermasalah ini yang menyebabkan laba bersih perusahaan pada tahun lalu anjlok hingga 92,5 persen. Seiring kenaikan kredit bermasalah, BTN juga melakukan biaya cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) dari Rp 3,29 triliun menjadi Rp 6,16 triliun,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Senin malam.

Dengan adanya pencadangan yang tinggi tersebut, membuat coverage ratio BTN yang sebelumnya berada level 50 persen terhadap kredit bermasalah menjadi 109,47 persen pada Januari 2020. Peningkatan tersebut, juga sejalan dengan penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71, bank harus memiliki cadangan CKPN di atas 100 persen.

"Kami harus meningkatkan pencadangan dan juga mempengaruhi bagaimana kami melakukan dan menentukan klasifikasi kredit kami. Karena sudah melakukan pencadangan atas NPL yang naik tersebut, tahun ini BTN memperkirakan akan menambah pencadangan pada CKPN sebesar Rp 1,2 triliun,” jelasnya.

Nantinya kata Pahala jika mampu menjaga kualitas kredit baru, maka angka CKPN tahun ini bisa berkurang dan membuat laba bersih tahun ini semakin membesar. "Coverage ratio-nya ditargetkan bisa mencapai 120 persen pada tahun ini," ucapnya.

Pahala menjelaskan penyebab melonjaknya kredit bermasalah tahun lalu di antaranya karena BTN menurunkan kredit dengan kualitas rendah (loan at risk), terutama di segmen komersial high rise atau apartemen.

"Penurunan kualitas kredit tersebut dikarenakan melambatnya penjualan apartemen,” ucapnya.

Menurutnya BTN menurunkan kualitas kredit berisiko di segmen komersial mencapai Rp 1,3 triliun pada tahun lalu. Mayoritas kredit yang diturunkan ini kepada debitur komersial high rise yang sudah berulang kali direstrukturisasi.

Dia mengatakan, kredit macet pada sektor komersial ini meningkat hingga level 18 persen dari total kredit sektor tersebut sebesar Rp 21,66 triliun.

Salah satu proyek yang bermasalah, berada di kawasan Kalimalang dengan plafon kredit mencapai Rp 650 miliar. Sedangkan kredit bermasalah pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan KPR non-subsidi jauh lebih kecil.

Kredit bermasalah pada KPR subsidi di bawah level satu persen dari total kredit Rp 111,13 triliun. Sementara, kredit bermasalah pada KPR non-subsidi berada level 3,7 persen dari total Rp 80,64 triliun.

Pahala menyebut perseroan menurunkan kualitas kredit pada debitur yang sudah berulang kali merestrukturisasi utang namun memiliki indikasi tidak bisa memenuhi komitmen pembayaran kredit. Perseroan juga menganalisis dari prospek bisnis dan perkembangan proyek debitur tersebut sebagai pertimbangan menurunkan kolektibilitas.

"Dengan adanya beberapa hal tersebut, kami perlu melakukan penyesuaian atas kolektibilitas. Karena, melihat kondisi debitur, setelah periode restrukturisasi berlalu belum juga menunjukan itikad untuk menyelesaikan NPL," kata Pahala.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement