REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beban Perum Bulog dalam melalukan penyerapan gabah petani pada musim panen raya rendeng pada Maret mendatang diperkirakan bakal berat. Sebab, stok beras di gudang masih menumpuk yang separuhnya merupakan beras impor 2018.
Koordiantor Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, pemerintah mesti memutuskan kebijakan untuk memberikan solusi kepada Bulog demi meringankan beban. "Perlu ada keputusan dan kebijakan yang bijak terhadap Bulog. Karena, beras ini mubazir kalau tidak tersalurkan," kata Said, Ahad (16/2).
Sejatinya peran Bulog dalam pembentukan harga gabah di tingkat petani tidak begitu besar. Itu dikarenakan Bulog hanya menguasai sekitar 10 persen pangsa pasar perberasan secara nasional. Titik krusial pada saat panen raya lebih terjadi di tubuh perusahaan Bulog ketimbang pembentukan harga gabah.
Namun memang, fungsi Bulog dalam penyerapan gabah sangat dibutuhkan sebagian petani ketika musim panen raya yang kerap kali memicu kejatuhan harga gabah. Kendati demikian, Bulog pun tetap tidak dapat optimal dalam menyerap lantaran harga pembelian pemerintah (HPP) gabah yang digunakan sudah tidak sesuai dengan harga pasar.
Sesuai Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 gabah di tingkat petani dibeli dengan harga Rp 3.700 per kilogram (kg). Harga itu bisa dinaikkan 10 persen menjadi Rp 4.070 per kg.
Menurut Said, meski harga dinaikkan, rata-rata harga gabah saat ini sudah jauh di atas itu. "Misal, taruhlah di harga Rp 4.500 per kg supaya Bulog bisa lebih bersaing dengan tengkulak untuk menyerap gabah," kata dia.
Lewat HPP yang lebih tinggi, Bulog juga bisa memiliki dana yang lebih besar untuk bisa bersaing di pasar beras premium. Sebab, dana pembelian beras dengan HPP berasal dari anggaran pemerintah sehingga bisa diputar untuk mengembangkan bisnis beras tanpa melupakan fungsi penyelamatan petani.