REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah akan mempermudah aturan importasi skrap logam atau logam bekas nonpadatan. Sebelumnya, impor skrap logam diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan nomor 92 tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun Sebagai Bahan Baku Industri. Aturan ini dianggap tidak luwes dan membatasi pengusaha untuk mengimpor skrap logam sebagai bahan baku penolong.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menjelaskan, industri nasional saat ini mengalami defisit skrap logam sebagai bahan penolong produksi. Hingga saat ini, Indonesia hanya sanggup mengimpor 4-5 juta ton skrap logam. Padahal, ujarnya, industri nasional membutuhkan 9 juta ton skrap logam per tahun. Akibatnya, industri terpaksa harus mengimpor billet baja dengan harga yang lebih tinggi.
"Diputuskan untuk skrap logam, agar juga dibuat relaksasinya untuk impor. Karena apa, karena kita bisa lihat bahwa kebutuhan skrap logam dalam negeri untuk mendukung hilirisasi dan mendukung produksi dari billet (baja) adalah 4 juta per ton per tahun," jelas Agus usai rapat terbatas di Kantor Presiden, Rabu (12/2).
Tak hanya soal kebutuhan industri, impor skrap logam juga juga diproyeksikan bisa menekan defisit neraca perdagangan. Selama ini, Indonesia masih harus mengimpor billet baja dari luar negeri dengan harga mahal. Padahal, billet baja ini bisa diproduksi sendiri di dalam negeri dengan bahan baku penolong skrap logam alias logam bekas non-padatan yang juga diimpor. Tentu, impor skrap logam butuh ongkos lebih murah.
Sederhananya, impor billet baja langsung dari luar negeri merogoh kocek pengusaha 100 dolar AS lebih mahal ketimbang harus impor skrap logam dan memproduksi billet sendiri di dalam negeri. Dengan total importasi billet sebesar 4 juta ton, maka potensi defisit perdagangan yang disumbang sebesar 400 juta dolar dolar AS.
"Artinya ada opportunity loss bagi industri dalam negeri sebesar 400 juta dolar per tahun. Maka, aturan-aturan relaksasi untuk industri dalam negeri bisa mengimpor scrap logam sudah dibahas dan sudah diputuskan dalam ratas," ujar Agus lagi.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menyinggung tingginya angka impor baja. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), baja duduk di urutan ketiga dari seluruh komoditas yang diimpor Indonsia. Hal ini tentu menyumbang defisit neraca dagang yang selama ini jadi 'penyakit' Indonesia yang belum kunjung sembuh.
"Apalagi baja impor itu sudah bisa kita produksi di dalam negeri," ujar Jokowi.
Presiden pun memberi arahan agar Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan menyelaraskan aturan mengenai penyediaan bahan baku dan bahan penolong bagi industri baja dan besi nasional.