REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau tax treaty dinilai mampu mendorong perkembangan perusahaan rintisan (start up) di Indonesia. Sebab, kebijakan ini memudahkan dan memberikan keuntungan lebih bagi investor luar negeri yang mengalirkan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) ke perusahaan Indonesia, terutama start up.
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) Kementerian Keuangan John Hutagaol menjelaskan, kemudahan tersebut kini sudah tergambarkan dalam pembaharuan P3B antara Indonesia dengan Singapura. Perjanjian tersebut diteken Menteri Keuangan masing-masing negara pada Selasa (4/2). Salah satu isinya, Indonesia akan mengenakan tarif pajak nol persen untuk investor yang mengalirkan FDI ke perusahaan di luar pasar modal Indonesia.
Selama ini, John menuturkan, para investor cenderung memilih berinvestasi ke start up Indonesia melalui penanaman modal portofolio. Artinya, investor mengalirkan uang melalui pasar modal untuk kemudian disalurkan ke start up yang telah terdaftar sebagai perusahaan terbuka (PT).
"Dengan tax treaty, kita akan buat mereka (investor Singapura) tertarik memiliki langsung perusahaan Indonesia karena mereka hanya kena pajak nol persen," tuturnya dalam diskusi Peningkatan Investasi Melalui P3B di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Jumat (7/2).
John menuturkan, beberapa tahun terakhir, banyak investor Singapura yang tidak ingin memiliki langsung kepemilikan perusahaan Indonesia. Penyebabnya, mereka dikenakan pajak dengan tingkat bervariasi. Prosedurnya pun cenderung tidak mudah.
FDI yang dimaksud John bisa dalam berbagai bentuk. Di antaranya melalui pembangunan gedung untuk start up ataupun secara langsung bertanggung jawab kepemilikan sebuah start up.
Kebijakan ini tentu akan memberikan dampak positif ke dunia usaha dalam negeri. Berbeda dengan investasi dalam bentuk portofolio yang berisiko dan sangat bergantung pada kondisi ekonomi global, dampak dari FDI akan lebih stabil terhadap ekonomi Indonesia.
"Akan terjadi pergeseran nanti. Mereka yang mungkin selama ini portofolio, terangsang masuk ke FDI," tuturnya.
Untuk investasi portofolio, John menyebutkan, pemerintah Indonesia dan Singapura tidak membuat kebijakan baru yang signifikan. Keduanya tetap memberlakukan pajak 0,1 persen bagi investor Singapura yang ingin memberikan investasi kepada perusahaan Indonesia.
Tidak hanya kepada start up, Kepala Pusat Penerimaan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Rofyanto Kurniawan menuturkan, keberadaan P3B yang baru ini diharapkan dapat mendorong investasi dari Singapura secara keseluruhan. Apalagi, peranan Singapura dari sisi investasi sangat penting bagi Indonesia.
"Pada kuartal kedua 2019, Singapura menjadi negara penyumbang terbesar investasi asing di Indonesia dengan kontribusi 24,5 persen," katanya dalam kesempatan yang sama.
Dengan adanya P3B, Rofyanto menambahkan, hambatan investasi dan perdagangan berupa pajak berganda dapat dieliminasi sehingga diharapkan dapat lebih memperlancar arus investasi berbagai pihak yang mengadakan perjanjian. Salah satunya melalui penurunan tarif pajak untuk pendapatan dari dividen, interest dan royalti. Dari semula 20 persen untuk tiap tarif, menjadi 10 hingga 15 persen.
Setelah secara substansi resmi diteken, P3B antara Indonesia dengan Singapura kini memasuki proses ratifikasi untuk ditetapkan sebagai perubahan atas perjanjian pajak dua negara. "Kita upayakan setelah 2020 bisa segera diimplementasikan," kata Rofyanto.