Jumat 24 Jan 2020 20:30 WIB

Pakar Soroti Tarif Angkutan Penyeberangan yang Belum Final

Tarif angkutan penyeberangan hingga ini belum ditetapkan.

Sejumlah penumpang memasuki kapal feri penyeberangan. ilustrasi
Foto: Antara/Kornelis Kaha
Sejumlah penumpang memasuki kapal feri penyeberangan. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –  Tarif angkutan penyeberangan yang tak kunjung ditetapkan meskipun sudah dibahas selama 1,5 tahun lebih mendapat sorotan sejumlah pakar.

Dewan Penasihat Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap),  Bambang Haryo Soekartono, menilai Menteri Perhubungan dan Menko Maritim dan Investasi (Marves) dinilai saling lempar tanggung jawab.  

Baca Juga

Menurut, anggota DPR RI periode 2014-2019 ini, molornya penetapan tarif penyeberangan menunjukkan Menhub dan Menko Marves tidak profesional dan konsisten dalam menjalankan regulasi dan undang-undang.

“Kemenhub sendiri sudah mengundur-undur evaluasi tarif penyeberangan hingga 1,5 tahun sehingga 3 tahun tidak pernah disesuaikan. Sekarang kembali terganjal di Menko Marves dengan alasan belum ada data untuk dikaji,” katanya, di Jakarta, jumat (24/1).

Menurut Bambang Haryo, Menko Marves tidak percaya dengan usulan tarif dari Menhub sehingga perlu dikaji lagi secara detil, meskipun Kemenhub sudah membahasnya bersama Gapasdap selama 1,5 tahun.

“Menhub Budi Karya dan Menko Luhut saling pingpong, lempar tanggung jawab. Kemenhub bilang sudah serahkan semua data, tapi Kemenko Marves mengaku tidak punya data. Dua instansi ini kelihatan tidak kompak, tidak profesional,” ungkapnya.  

Keterlibatan Menko Marves dalam evaluasi tarif penyeberangan baru pertama kali, menyusul penerbitan Inpres No. 7/2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha.  

“Inpres yang harusnya untuk kemudahan usaha, kenyataannya mempersulit usaha dan perizinan. Kalau mengurusi satu sektor ini saja tidak beres, bagaimana mungkin pemerintah menjalankan Omnibus Law yang melibatkan ribuan regulasi,” cetusnya.   

Apabila Menko Luhut profesional dan mengerti maritim, kata Bambang Haryo, seharusnya mengingatkan Menhub agar segera membereskan evaluasi tarif karena kondisi penyeberangan sudah kritis dan terancam berhenti operasi dalam waktu dekat. 

Menko Luhut semestinya mempercepat penetapan tarif sesuai kebutuhan angkutan penyeberangan, bahkan harus menolak usulan Menhub untuk mencicil kenaikan tarif 38 persen secara bertahap selama tiga tahun. 

Berdasarkan hitungan Bambang Haryo, kenaikan tarif penyeberangan sekaligus pun dampaknya tidak terlalu signifikan terhadap harga barang, yakni sekitar 0,15 persen. Artinya, barang seharga Rp 10 ribu per kg kemungkinan naik Rp15 per kg apabila tarif dinaikkan sekaligus. 

Dia menjelaskan, kenaikan harga itu mungkin relatif kecil, tetapi sangat besar artinya bagi kelangsungan usaha penyeberangan serta menjamin keselamatan nyawa dan barang publik. 

Ketidakpastian tarif mengancam keselamatan, berarti pemerintah melanggar UUD 1945 yang mengamabatkan negara melindungi seluruh tumpah darah Indonesia.    

Bambang Haryo mengatakan, penyesuaian tarif penyeberangan ini akan membuktikan apakah Menhub dan Menko Marves menjalankan visi Presiden Joko Widodo untuk memajukan sektor maritim.   

“Mereka begitu cepat menanggapi tuntutan tarif angkutan online, tetapi tarif kapal ferry terus diundur-undur walaupun risikonya sangat besar. Apabila penyeberangan sampai terhenti, Presiden Jokowi yang disalahkan rakyat karena logistik di seluruh Indonesia akan macet, ekonomi mandeg,” ujarnya.

 

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement