Kamis 23 Jan 2020 20:51 WIB

Insurtech Jadi Peluang Asuransi Syariah

Insurtech yang berkembang di Indonesia harus membawa manfaat signifikan

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Gita Amanda
Direktur Industri Keuangan Non-Bank Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Moch Muchlasin mengakui bahwa regulator masih mengkaji setiap inovasi di industri termasuk insurtech.
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Direktur Industri Keuangan Non-Bank Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Moch Muchlasin mengakui bahwa regulator masih mengkaji setiap inovasi di industri termasuk insurtech.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Insurtech menjadi salah satu peluang bagi asuransi syariah untuk meningkatkan daya saing dan bisnis. Namun dalam pengembangannya, ada tantangan yang harus dihadapi seperti masih minimnya literasi juga regulasi.

Direktur Industri Keuangan Non-Bank Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Moch Muchlasin mengakui bahwa regulator masih mengkaji setiap inovasi di industri termasuk insurtech. Bahkan OJK masih meraba-raba kategorisasinya seperti apa.

Baca Juga

"Bagi kita ini masih dunia baru yang belum terlalu kita pahami," katanya dalam Seminar Insurtech Syariah yang diselenggaran Islamic Insurance Society, di Jakarta, Kamis (23/1).

Namun Muchlasin meyakini ini bisa jadi peluang sekaligus tantangan. Disrupsi pada industri asuransi memang tidak bisa dihindari, sehingga cara satu-satunya adalah menghadapi dengan berbagai strategi.

Ia menekankan agar insurtech yang berkembang di Indonesia harus membawa manfaat signifikan tidak hanya pada industri tapi juga masyarakat. Jangan sampai pengembangannya hanya ikut-ikut tren semata.

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Pusat, Jaih Mubarok menyampaikan sisi fikih tidak menghambat pengembangan insurtech. Selama operasional dan skemanya mengikuti kaidah-kaidah syariah, maka bisnis ini bisa berjalan.

"Harus sesuai syariah dari segi marketing, dokumen, dan penggunaan fasilitas teknologinya," kata Jaih.

Misal dari segi marketing, agen harus menjelaskan secara transparan terkait produk meski melalui fasilitas teknologi. Selain itu dokumen dan penjanjiannya harus jelas, tidak ada penipuan, judi, juga kecurangan.

Penggunaan teknologi juga tidak boleh menjadi penghambat nasabah untuk mendapatkan haknya. Mereka memperoleh manfaat sama seperti transaksi fisik, bahkan bisa lebih.

Praktisi dan pengamat IKNB syariah, Abdul Ghoni menambahkan industri ini bisa jadi peluang bagi asuransi syariah untuk melesat melewati asuansi konvensional. Karena pada dasarnya insurtech sangat lekat dengan skema syariah.

"Insurtech ini cara agar asuransi syariah bisa maju, bisa melesat, kata kuncinya ada pada bisnis model baru, dan teknologi baru," kata dia.

Abdul mengatakan insurtech sudah berkembang pesat di pasar global. Secara umum, jumlahnya ada sekitar 2.000 insurtech yang tersebar di seluruh dunia. Insurtech sendiri terdiri dari berbagai macam model. Ia mencatat ada sekitar 9-15 model insurtech di dunia.

Pada dasarnya insurtech menggunakan kombinasi teknologi. Mulai dari Internet of Thing, blockchain, robotic process automation, Artificial Intelligence, drones, robo advisor dan lainnya. Teknologi ini melahirkan beragam model bisnis baru yang bisa digunakan sebuah perusahaan.

Insurtech juga dinilai berkembang lebih pesat daripada digital banking. Ia menyebut pendanaan global ke insurtech dari modal ventura terus meningkat signifikan. Pada 2017, nilainya naik jadi 2,1 miliar dolar AS dari 1,7 miliar dolar AS pada 2016.

Dari sisi jumlah, pendanaan pada 2017 dilakukan pada 339 insurtech, naik dari 299 pada 2016. Data tersebut merujuk pada KPMG Pulse of Fintech Reporter Q4 tahun 2017.

Dari sisi industri, CEO PT Asuransi Adira Dinamika (Adira Insurance), Julian Noor menyampaikan penerapan teknologi sudah dilakukan di perusahaan. Ini memang membawa model bisnis baru yang terkadang terhambat di regulator.

"Kita terkadang ingin digitalisasi tapi terhambat di regulator," katanya.

Misal saat berkolaborasi dengan sebuah perusahaan digital, mereka menuntut produk asuransi yang juga digital. Padahal mayoritas produk yang dimiliki masih sangat manual. Masalanya, ketika perusahaan hendak menciptakan produk digital, selalu berbenturan dengan regulasi yang belum menaungi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement