REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah tantangan dihadapi oleh fintech syariah di Indonesia. Rektor Institut Tazkia, Murniati Mukhlisin menyampaikan Tazkia mengkajinya melalui Pusat FinTech Syariah Tazkia yang didirikan pada tahun 2017.
Secara umum, ia menyebut tiga kendala utama. Pertama, masih maraknya fintech liar yang jauh lebih mudah dan menjangkau walaupun ujungnya menjerat. Walaupun sudah ditertibkan, selalu muncul yang baru.
Kedua, fintech konvensional yang terdaftar lebih mudah dan bervariasi. Ketiga, sebanyak 12 fintech syariah masih terkendala modal sehingga kurang sumber daya, inovasi produk dan marketing. Sejumlah strategi solusi coba diterapkan.
Seperti, pada bulan ini Asosiasi FinTech Syariah Indonesia akan ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi Self Regulatory Organization (SRO) yang akan membantu regulator mengembangkan sekaligus mengawasi operasional fintech Syariah.
"Peraturan yang lebih aman bagi investor misanya SRO ini salah satu langkahnya," kata Murniati pada Republika.co.id, Ahad (19/1).
Selain itu, regulator dan industri bersama pengembangan ekosistem yang dapat menunjang literasi dan partisipasi di fintech syariah. Sinergi atau kolaborasi antar fintech syariah juga bisa jadi solusi.
Murniati menyampaikan, Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) bersama stakeholder lain saat ini sedang menyiapkan Rancangan Undang-Undang Ekonomi Syariah yang akan memasukkan peraturan fintech syariah. Jika ini sudah dikeluarkan juga akan menjadi salah satu daya tarik investor.
"Pemerintah juga harusnya lebih kuat mendukung infrastruktur yang ada apalagi presiden sudah mencanangkan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah dunia," katanya.
Pemerintah seperti BUMN, BUMD, Kementerian dinilainya perlu didorong agar berpartisipasi aktif menyuburkan industri. Seperti dengan menggunakan alat pembayaran syariah, menggunakan jasa fintech syariah untuk menunjang program kerja, memenuhi kebutuhan pegawai dan lainnya.