REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kelautan dan Perikanan mencatat sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang harus ditindaklanjuti untuk pengembangan sektor perikanan nasional. PR tersebut mulai dari permasalahan ekspor dan budi daya, pembibitan kultur jaringan, hingga regulasi kapal.
“Di awal tahun 2020 diharapkan beberapa isu perikanan bisa mendapatkan solusi terbaik tanpa harus banyak berpolemik,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (9/1).
Pilihan untuk budi daya lobster harus menjadi prioritas. Jika belum dapat optimal, maka untuk ekspor sebaiknya dapat diberikan kuota dan standar perizinan tangkap dalam 3 hari.
Menurutnya, Indonesia dapat belajar lebih banyak dengan pengalaman Vietnam dalam budi daya lobster yang kontribusi produksinya dapat mencapai 85 persen produksi dunia. Dia mengaku, dalam waktu dekat pihaknya menginginkan adanya pertemuan dengan para pelaku budi daya lobster Vietnam.
“Penangkapan lobster untuk budi daya diutamakan, tanpa harus adanya larangan untuk ekspor. Tantangannya adalah bagaimana Indonesia dapat menyiapkan riset dan teknologi yang mumpuni untuk budi daya,” ungkap dia.
Kadin juga mengusulkan revisi atas Peraturan Menteri KKP No 18 Tahun 2018 tentang wajib periksa hasil perikanan. Pasalnya, selain bisa menghambat ekspor perikanan, aturan tersebut juga menambah mata rantai prosedur ekspor yang sebenarnya tidak semua dibutuhkan oleh negara tujuan ekspor.
“Kalau mau ekspor harus mengurus Health Certificate, padahal tidak semua negara mengharuskan. Permintaan itu biasanya diminta oleh Amerika dan Eropa,” kata Yugi.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti masih adanya tumpang tindih antara Peraturan Menteri dan surat edaran Dirjen KKP yang menghambat Investasi. “Ini cukup membuat pengusaha kebingungan. Kami harapkan regulasi investasi perikanan ke depan harus jelas aturan dasarnya yang mana,” kata dia.
Selain itu, Kadin juga menyarankan adanya sinkronisasi peraturan garam.
Hal lainnya adalah bahwa ekspor bahan baku dan olahan rumput laut dapat berjalan paralel mengingat lahan budidaya baru dimanfaatkan 20 persen dari luas 1.000.100 ha dan minimnya serapan rumput laut dalam negeri.
“Untuk bibit kultur jaringan rumput laut sebaiknya pemerintah menunggu hingga adanya legalitas dan pengakuan internasional, karena jika terlanjur beredar luas dan tidak sesuai dengan pasar ekspor tentu dampaknya akan sangat besar. Selain itu, diharapkan ada Revisi Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2019 tentang peta panduan industri rumput laut nasional karena aturan tersebut didasarkan pada data yang belum sesuai dengan fakta yang ada di lapangan,” paparnya.
Dia pun meminta agar pemerintah memberikan kepastian dan perlindungan hukum agar investasi bidang perikanan tangkap menjadi menarik. Tumpang tindih aturan mulai dari usaha perikanan tangkap, ukuran kapal, alat tangkap, transhipment dan lainnya agar segera direvisi sesuai tuntutan dunia usaha.
“Paling tidak pelonggaran GT (gross tonnage) kapal bisa segera diumumkan, karena ini akan berdampak pada ekspor yang bisa mulai membaik,” ujar Yugi.