Rabu 08 Jan 2020 15:48 WIB

Target Penerimaan Pajak 2020 Diproyeksikan Sulit Tercapai

Ekonomi global pada 2020 masih dipenuhi ketidakpastian, mempengaruhi Indonesia.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Ilustrasi Bayar Pajak Online
Foto: Foto : MgRol_92
Ilustrasi Bayar Pajak Online

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo memperkirakan, kondisi penerimaan pajak pada tahun ini tidak jauh berbeda dengan tahun lalu. Sebab, ekonomi global pada 2020 masih dipenuhi dengan ketidakpastian yang pasti memberikan dampak terhadap penerimaan Indonesia.

Pemerintah menetapkan target penerimaan pajak melalui Undang-Undang APBN 2020 sebesar Rp 1.642 triliun. Untuk mencapai target itu, Yustinus mencatat, pertumbuhan penerimaan perlu meningkat sebesar 23,3 persen dari realisasi 2019, Rp 1.332 triliun. 

Baca Juga

"Target ini sulit untuk direalisasikan," ujarnya ketika dikonfirmasi Republika.co.id, Rabu (8/1).

Pesimisme Yustinus bukan tanpa sebab. Sepanjang 2019, pertumbuhan realisasi penerimaan pajak hanya 1,4 persen yang menjadi pertumbuhan terendah pasca Global Financial Crisis (GFC) menghantam ekonomi dunia. Sementara itu, pada 2018, pertumbuhannya 14 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Pemerintah memiliki opsi untuk menurunkan target penerimaan dalam APBN-Perubahan (APBN-P). Yustinus mengakui, pilihan tersebut direalisasikan mengingat Pemerintah pernah berkomitmen untuk tidak ada lagi APBN-P demi menjaga kredibilitas APBN.

Tapi, demi menjaga kesinambungan fiskal dan mencegah pelebaran defisit yang akan menaikkan porsi pembiayaan dari utang, revisi target di APBN menjadi pilihan paling rasional dan reasonable.

Pada akhirnya, Yustinus mengatakan, pemerintah perlu pemantapan strategi guna menggenjot penerimaan pajak yang berkelanjutan dan berkeadilan. Selain reformasi perpajakan yang sedang berjalan, salah satu terobosan baru adalah Omnibus Law Perpajakan.

Namun demikian perlu diperhatikan bahwa omnibus law perpajakan harus berada pada visi yang sama dengan reformasi perpajakan. "Kebutuhan penerimaan negara yang terus meningkat tetap harus memperhatikan pentingnya menjaga iklim bisnis dan fairness praktik perpajakan," kata Yustinus.

Strategi lain yang dapat dilakukan adalah memperluas basis pajak melalui tindak lanjut data perpajakan pasca-amnesti dan hasil akses/pertukaran informasi. Khususnya dalam rangka penegakan hukum, terutama dengan sinergi kelembagaan.

Upaya berikutnya, Yustinus menganjurkan pemerintah menginisiasi penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai common identifier (penanda tunggal) seluruh transaksi dan aktivitas warga negara. Selain itu juga perlu dilakukan pemutakhiran data NIK pada database sektor keuangan. "Dalam jangka pendek, NIK harus digunakan sebagai identitas wajib dalam Faktur Pajak pada setiap transaksi yang melibatkan orang pribadi," ujarnya.

Di sisi lain, perbaikan administrasi perpajakan (core tax system) harus didukung dan dituntaskan. Termasuk perbaikan administrasi dan tata kelola perpajakan terhadap isu-isu utama yang belum tercakup dalam omnibus law. Misalnya, melalui survei persepsi wajib pajak, identifikasi permasalahan di lapangan, dan upaya duduk bersama antara otoritas pajak, DPR, dan komunitas wajib pajak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement