REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo memprediksi kinerja penerimaan pajak pada 2020 tidak akan banyak berubah dibandingkan tahun lalu. Target penerimaan pajak dalam APBN 2020 mencapai Rp 1.642,57 triliun, naik 4,12 persen dari target 2019 senilai Rp 1.577,6 triliun.
"Tak jauh berbeda dengan tahun 2019, ekonomi pada tahun 2020 masih dipenuhi dengan ketidakpastian. Kinerja pertumbuhan penerimaan dapat diperkirakan tidak mengalami perubahan besar," ujar Yustinus dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu (8/1).
Penerimaan pajak 2019 tidak mencapai target, yaitu terealisasi Rp 1.332 triliun atau 84,4 persen dari target. Dengan kata lain terjadi shortfall Rp 245 triliun atau meleset Rp 105 triliun dari outlook Pemerintah sebesar Rp 140 triliun.
Untuk mencapai target penerimaan pajak di 2020, pertumbuhan penerimaan perlu meningkat sebesar 23,3 persen dari realisasi 2019.
Menurut Yustinus, target tersebut sulit untuk direalisasikan, pemerintah memiliki opsi untuk menurunkan target penerimaan dalam APBN-P. Pilihan ini-pun sulit, mengingat Pemerintah pernah berkomitmen untuk tidak ada lagi APBN-Perubahan demi menjaga kredibilitas APBN.
"Namun demi menjaga kesinambungan fiskal dan mencegah pelebaran defisit yang akan menaikkan porsi pembiayaan dari utang, maka revisi target di APBN menjadi pilihan paling rasional dan reasonable," kata Yustinus.
Yustinus menambahkan, diperlukan pemantapan strategi untuk menggenjot penerimaan pajak yang berkelanjutan dan berkeadilan. Selain reformasi perpajakan yang sedang berjalan, salah satu terobosan baru oleh pemerintah yakni melalui omnibus law perpajakan.
Namun demikian perlu diperhatikan bahwa omnibus law perpajakan harus berada pada rel yang sama dengan reformasi perpajakan yakni dengan memastikan omnibus law perpajakan memiliki visi yang sama dengan reformasi perpajakan.
"Kebutuhan penerimaan negara yang terus meningkat tetap harus memperhatikan pentingnya menjaga iklim bisnis dan fairness praktik perpajakan," ujarnya.
Adapun strategi lainnya yang dapat dilakukan yaitu memperluas basis pajak melalui tindak lanjut data perpajakan pasca-amnesti dan hasil akses atau pertukaran informasi, terutama dalam rangka penegakan hukum, terutama dengan sinergi kelembagaan.
Selanjutnya, pemerintah dapat menginisiasi penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai common identifier (penanda tunggal) seluruh transaksi dan aktivitas warga negara. Selain itu juga perlu dilakukan pemutakhiran data NIK pada database sektor keuangan. Dalam jangka pendek, NIK harus digunakan sebagai identitas wajib dalam Faktur Pajak pada setiap transaksi yang melibatkan orang pribadi.
Kemudian, perbaikan administrasi perpajakan (core tax system) harus didukung dan dituntaskan, termasuk perbaikan administrasi dan tata kelola perpajakan terhadap isu-isu utama yang belum tercakup dalam omnibus law, misalkan melalui survei persepsi wajib pajak, identifikasi permasalahan di lapangan, dan upaya duduk bersama antara otoritas pajak, DPR, dan komunitas wajib pajak).
Selanjutnya, pemeriksaan pajak dan penegakan hukum yang terukur dan profesional untuk menciptakan efek kejut dan efek bola salju kepatuhan pajak, dan melakukan evaluasi menyeluruh dan reorientasi skema fasilitas perpajakan yang selama ini telah digelontorkan.
Insentif harus diarahkan pada upaya mendorong ekspor, memperkuat reindustrialisasi, memperkuat UMKM dan koperasi, meningkatkan produktivitas modal, mengintegrasikan ekonomi Indonesia dalam global value chain, mendorong penyerapan tenaga kerja, dan mendukung riset dan pengembangan.