Senin 06 Jan 2020 09:38 WIB

IHSG Berpeluang Menguat Jelang Kesepakatan Dagang AS-China

IHSG dibuka di zona merah pada perdagangan pagi ini.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Nidia Zuraya
Karyawan beraktivitas di sekitar grafik pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) usai Pembukaan Perdagangan BEI Tahun 2020 di Jakarta, Kamis (2/1).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Karyawan beraktivitas di sekitar grafik pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) usai Pembukaan Perdagangan BEI Tahun 2020 di Jakarta, Kamis (2/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka di zona merah pada perdagangan Senin (6/1). Indeks saham melemah 0.60 persen ke level 6.293,50 dari penutupan perdagangan sebelumnya di level 6.323,46.

Meski dibuka melemah, Direktur PT Anugrah Anugerah Investama, Hans Kwee, melihat IHSG masih berpeluang untuk menguat selama sepekan ini. "IHSG kami perkirakan berpeluang konsolidasi menguat dengan support di level 6263 sampai 6219 dan resistance di level 6.337 sampai 6.348," kata Hans, Ahad (5/1).

Baca Juga

Menurut Hans, ada beberapa sentimen positif yang mendorong penguatan IHSG tersebut. Pada pekan ini pasar akan terpengaruh optimisme penandatanganan fase 1 antara China dan AS.

Presiden Donald Trump mengatakan kesepakatan perdagangan Fase 1 antar AS dan China akan ditandatangani pada 15 Januari di Gedung Putih.

Tanda-tanda kemajuan dalam kesepakatan itu mendorong produksi pabrik China dan aktivitas manufaktur di China tumbuh untuk dua bulan berturut-turut. Indeks Dow Jones juga terlihat mengalami break all time high.

"Biarpun kami melihat penandatangan hanya sebuah euforia sesaat karena itu kami merekomendasikan pelaku pasar aksi jual ketika menguat mengantisipasi koreksi akibat kenaikan yang sudah cukup tinggi," tutur Hans.

Selain itu, Hans memprediksi keputusan Bank Sentral China untuk melakukan pelonggaran kebijakan moneternya juha akan menjadi sentimen positif di pasar keuangan. Dikabarkan, Bank Sentral China memangkas jumlah uang tunai yang harus disimpan dalam cadangan perbankan.

China melepaskan dana sekitar 800 miliar yuan (115 miliar dolar AS) guna menopang perlambatan ekonomi negara itu. Selain itu bank sentral China juga akan menggunakan suku bunga pinjaman sebagai patokan baru untuk menentukan suku bunga mengambang. Hal ini diyakini akan menurunkan biaya pinjaman yang pada akhirnya dapat mendorong pertumbuhan.

Sementara itu, sentimen negatif yang bisa mempengaruhi IHSG yaitu konflik di Timur Tengah. Panasnya tensi di Timur Tengah juga akan menjadi perhatian pasar pekan ini. Naiknya harga minyak di akhir pekan lalu akibat serangan udara AS ke milisi Irak yang di dukung oleh pemerintah Iran.

Serangan udara AS dikabarkan menewaskan Mayor Jenderal Iran Qassem Soleimani, kepala Pasukan elit Quds, dan komandan milisi Irak Abu Mahdi al-Muhandis. Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei berjanji akan membalas serangan tersebut yang menimbulkan kekawatiran terjadi konflik di wilayah tersebut.

"Meningkatknya kekhawatiran ketegangan Timur Tengah ini dapat mengganggu pasokan minyak dan telah membuat harga minyak naik," kata Hans.

Hans melihat masalah brexit masih akan menjadi perhatian pelaku pasar. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan Uni Eropa mungkin perlu memperpanjang batas waktu untuk pembicaraan tentang hubungan perdagangan baru dengan Inggris.

Sebelumnya pemilihan umum Inggris dianggap memperlancar jalan keluar Inggris dari Uni Eropa. Pelaku pasar menantikan kesepakatan perdagangan baru antara Inggris dengan Uni Eropa dalam rentang waktu yang singkat. 

Dari sisi internal, IHSG masih akan dipengaruhi penurunan inflasi. Data di awal 2020 menunjukan inflasi Desember 2019 hanya 0,34 persen, jauh di bawah harapan pasar 0,42 persen. Selain itu, inflasi yoy hanya 2,72 persen di bawah inflasi 2017 sebesar 3,61 persen dan 2018 sebasar 3,13 persen.

Rendahnya angka inflasi di satu sisi memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk melanjutkan penurunan suku bunga. Di sisi lain, perlambatan angka inflasi juga mengindikasi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Selain itu inflasi rendah juga sering mengindikasikan lemahnya daya beli masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement