Jumat 20 Dec 2019 22:18 WIB

Ekonomi Indonesia Diprediksi Stabil di Tengah Potensi Resesi

Ekspor dan impor bukan menjadi komponen utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Rep: Antara, Lida Puspaningtyas/ Red: Andri Saubani
Pertumbuhan Ekonomi Indoensia. Pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Kamis (24/10/2019).
Foto: Republika/ Wihdan
Pertumbuhan Ekonomi Indoensia. Pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Kamis (24/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyebut perekonomian Indonesia relatif stabil di tengah potensi resesi global yang terjadi. Alasannya, karena ekspor dan impor bukan menjadi komponen utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Karena rasio ekspor impor kita itu kecil hanya 39,9 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB),” kata Esther pada Diskusi Publik bertajuk Refleksi Akhir Tahun: Ekonom Perempuan Mewaspadai Resesi Ekonomi Global di Jakarta, Jumat (20/12).

Baca Juga

Esther memaparkan, komponen utama yang menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah konsumsi, yang rasionya mencapai 56 persen terhadap PDB. Sehingga, menurut dia, yang perlu diupayakan pemerintah tahun depan adalah menjaga agar sektor konsumsi tetap berjalan dengan baik.

“Jadi, pemerintah kalau ingin stabil ke depannya ya jangan ganggu konsumsi karena ini merupakan komponen utama,” ujarnya.

Diketahui, pertumbuhan ekonomi di beberapa negara mengalami penurunan. Bahkan, Amerika Serikat yang termasuk dalam kategori kuat dari sisi pertumbuhan ekonomi juga mengalami perlambatan akibat resesi global.

Jerman bahkan mengalami pertumbuhan negatif, meskipun terakhir hanya tumbuh 0,4 persen. Sementara, China yang biasanya tumbuh 7 persen, diperkirakan hanya akan mencapai pertumbuhan 5,5 persen hingga akhir 2019.

Adapun, pertumbuhan ekonomi Eropa, Inggris, Jepang dan India merosot tajam di kisaran 5 persen. Dalam kondisi tersebut, kendati pertumbuhan Indonesia relatif stabil, namun dinilai tetap perlu diwaspadai.

Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 di kisaran 5,1-5,5 persen. Sementara pertumbuhan kredit diproyeksi melompat dari proyeksi akhir tahun 2019 sebesar delapan persen jadi 10-12 persen.

Gubernur BI, Perry Warjiyo menyampaikan sejumlah stimulus pendorong yang juga berasal dari sejumlah bauran kebijakan akomodatif di tahun ini. Seperti kelonggaran likuiditas karena penurunan suku bunga sebesar total 100 basis poin pada 2019, Giro Wajib Minimum (GWM), dan Rasio Indermediasi Makroprudensial (RIM).

Pada akhir 2019, pertumbuhan kredit diproyeksi di level 8 persen, ditopang pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang juga sebesar 8 persen. "Pada 2020 pertumbuhan kredit dan DPK akan membaik, di kisaran masing-masing 10-12 persen dan 8-10 persen," kata Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Kamis (19/12).

photo
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan sambutan disela-sela Peluncuran Integrasi Pelaporan di Kantor Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (19/12/2019).

Ia menjelaskan pendorong pertumbuhan kredit, di antaranya kondisi global yang membaik, perbaikan ekspor, perbaikan investasi, dan kebijakan BI yang akomodatif. Ini semua diproyeksikan membawa pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,1-5,5 persen.

Proyeksi kondisi global yang membaik melihat arah kesepakatan dagang China dan Amerika Serikat. Ini pada akhirnya bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru di Indonesia, khususnya sisi ekspor.

 

Perbaikan ekspor terlihat dari sektor pulp and paper, juga kendaraan ke wilayah Timur Tengah. Selain itu, stimulus fiskal akan membantu juga karena ada peningkatan bantuan sosial yang lebih tinggi dari tahun ini yang akan menguatkan konsumsi rumah tangga.

Selain itu, perbaikan investasi khususnya non bangunan sejalan dengan kebijakan reformasi dan transformasi ekonomi pemerintah. Presiden sendiri mendorong investasi swasta termasuk pembangunan klaster ekonomi seperti yang berbasis pariwisata, industri, hilirisasi, pertanian dan perikanan.

Terakhir, kebijakan BI yang akomodatif akan terus dilanjutkan untuk mendorong ekonomi. Menurut Perry, pertumbuhan kredit delapan persen pada tahun ini menunjukkan siklus keuangan masih di bawah optimal.

"Ini berkaitan dengan permintaan kredit yang belum kuat, meski dari sisi supply-nya, likuiditas atau kapasitas perbankan sudah ada," kata dia.

Ia meyakini, transmisi bauran kebijakan BI akan mulai terasa pada tahun depan. Menurutnya, transmisi penurunan suku bunga ke kredit modal kerja baru 32 basis poin sejak Januari 2019. Kedepan, permintaan kredit akan meningkat seiring dengan kesiapan bank sehingga bisa meningkatkan pertumbuhan kredit tahun depan.

[video] Menyoroti Kesenjangan Ekonomi Tanah Air

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement