Selasa 17 Dec 2019 13:06 WIB

Fintech Syariah Alami Salurkan Pinjaman Rp 70 Miliar

Tingkat keberhasilan layanan fintech lending syariah mencapai 100 persen.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
FINTECH SYARIAH. Booth fintech syariah
Foto: Yogi Ardhi/Republika
FINTECH SYARIAH. Booth fintech syariah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- PT Alami Fintek Sharia atau Alami telah menyalurkan dana sebesar Rp 70 miliar kepada para pelaku bisnis hingga November 2019. Adapun layanan peer-to-peer (P2P) lending syariah ini mampu mencatatkan Tingkat Keberhasilan 90 (TKB90) sebesar 100 persen.

CEO Alami Dima Djani mengatakan perusahaan berupaya memberikan edukasi kepada masyarakat tentang konsep keuangan syariah, baik itu berupa simpanan maupun investasi. Setidaknya masyarakat perlu memahami secara utuh pentingnya konsep syariah agar terhindar dari persoalan riba atau penetapan bunga secara sepihak.

Baca Juga

“Tidak semua investasi syariah itu bodong. Namun harus kami akui bahwa menjalankan bisnis syariah itu tidaklah mudah. Tidak sekedar memasang kata syariah atau dipromosikan oleh tokoh-tokoh muslim lantas menjadikan bisnis apapun syariah. Harus ada penilaian dan pengakuan dari lembaga-lembaga resmi,”  ujarnya dalam keterangan tulis yang diterima Republika.co,id, Selasa (17/12).

Pemberian edukasi yang dilakukan Alami lantaran munculnya korban investasi tanpa riba atau yang marak dipromosikan sebagai investasi syariah terus bergulir dengan berbagai macam versi. Kasus investasi berbalut syariah Kampoeng Kurma yang terjadi cukup menyita perhatian masyarakat, termasuk para pelaku bisnis.

Menurut Dima oknum yang menggunakan emblem syariah, bebas riba dan lain sebagainya, menarget masyarakat yang tergiur dengan imbal hasil tinggi namun masih peka terhadap unsur syariat. Karenanya, penggunanaan kata investasi syariah dianggap bisa memuluskan jalan dan pengambilan keputusan calon investor.

“Hal inilah yang membuat banyak masyarakat terjebak. Di satu sisi mereka ingin imbal hasil tinggi, di sisi lain ada endorsement dan iklan-iklan menarik yang menekankan kata-kata syariah. Padahal, masih banyak aspek yang harus dinilai untuk memastikan bahwa apakah penawaran tersebut betul-betul skema investasi dan sudahkah mengikuti jalur legalitas yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI),” jelasnya.

Dima menyebut kasus ini membuat reputasi perusahaan investasi syariah yang dengan susah payah dibangun akan tercoreng. Diakuinya perusahaan berbasis syariah memiliki tantangan dalam membangun citra positif di tengah penerimaan masyarakat Indonesia yang notabene masih belum memandang perusahaan atau instansi ekonomi syariah sebagai pilihan utama.

“Hal ini justru semakin membuat jalan kami makin menantang untuk melakukan edukasi dan sosialisasi terhadap layanan kami,” ucapnya,

Dalam konsep investasi, Dima menyarankan calon investor pun harus mengenal adanya praktik gharar (ketidakjelasan akad), tadlis (tidak transparan), maysir (ketidakjelasan tujuan/spekulasi), dharar (bahaya), zhulm (kerugian salah satu pihak), dan haram.

“Jadi sebelum memutuskan untuk berinvetasi, mengetahui besaran imbal hasil saja belum cukup. Masyarakat perlu dibekali dengan pemahaman bahwa setiap investasi pasti mengandung risiko,” tutur Dima.

Meskipun dunia investasi syariah sedang dilanda kabar miring, Dima menganggap bahwa ini merupakan tindakan dari oknum dan tidak semua bisnis berbasis syariah patut dipandang sebagai investasi  bodong.

“Kami optimis perusahaan investasi berbasis syariah di Indonesia mematuhi amanat yang telah diberikan oleh investor. Isu Kampoeng Kurma baiknya dijadikan pelajaran dalam menjadi calon investor yang lebih bijaksana. Selalu pastikan perusahaan yang menawarkan produk investasi apapun telah tercatat dan terdaftar OJK,” ucapnya.

Menurutnya pengecekan bisa dilakukan dengan mengunjungi website perusahaan atau situs resmi OJK. Setelah itu, periksa perizinan perusahaan dan kesesuaian prosedur OJK dan DSN MUI sebagai kualifikasi kelayakan.

“Apabila terjadi kejanggalan, segera laporkan kepada OJK sebagai pihak yang berwenang untuk melakukan investigasi lebih lanjut,” ucapnya.

Sementara Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas menambahkan investasi yang membawa-bawa label agama harus dipandang dengan sangat hati-hati bagi masyarakat.

“Setiap investasi yang berspekulasi maka jatuhnya akan menjadi judi. Islam mengatur dengan ketat syarat jual beli, salah satunya adalah barang yang ditawarkan harus jelas bentuk dan lokasinya,” ucapnya.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement