REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi VI DPR RI meminta kepada pemerintah dan aparat penegak hukum untuk mencegah-tangkal seluruh direksi PT. Jiwasraya (Persero) periode 2015 - 2018. Direksi periode inilah yang menurut Komisi VI menjadi penyebab perusahaan merugi hingga tak mampu membayar polis yang sudah jatuh tempo dan menyebabkan ratusan nasabah merugi.
Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka dari Fraksi PDIP menilai kasus yang membelit perusahaan asuransi plat merah ini karena adanya kelalaian direksi dalam menjalankan perusahaan. Ia bahkan menilai, kasus yang membelit perusahaan saat ini merupakan aksi bersama dan dilakukan secara terstruktur.
"Saya mengusulkan rapat hari ini, merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan pencekalan terhadap direksi-direksi yang lama," ujar Rieke pada rapat dengar pendapat DPR dengan direksi Jiwasraya, Senin (16/12).
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Aria Bima pun merekomendasikan pencekalan ini dan tertuang dalam kesimpulan rapat. Ia juga meminta kepada aparat penegak hukum untuk bisa melanjutkan proses hukum yang sudah berjalan dan mengusut tuntas persoalan ini.
"Komisi VI DPR RI meminta penyelesaian permasalahan polis bancassurance nasabah PT Asuransi Jiwasraya (Persero)lewat penegakan hukum tetep dijalankan dimulai dengan melakukan pencekalan terhadap direksi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) periode 2013-2018," ujar Aria.
PT Jiwasraya (Persero) mengakui salah satu penyebab perusahaan gagal membayar polis kepada para nasabahnya adalah karena kesalahan strategi dalam berinvestasi. Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko menjelaskan, kesalahan strategi ini membut perusahaan harus menanggung beban keuangan yang menggulung dari tahun ke tahun.
Hexana menjelaskan kesalahan strategi adalah penempatan usaha yang semestinya mayoritas ditempatkan ke goverment bond, malah dimasukan ke dalam skema investasi reksa dana saham. Berdasarkan paparannya, komposisi portofolio investasi keuangan asuransi jiwa tidak sejalan dengan rencana jangka panjang (5 tahun) perusahaan.
Berdasarkan rencana panjang perseroan, seharusnya goverment bond menjadi instrumen investasi paling besar yaitu sebesar 30 persen. Termasuk juga obligasi korporasi non BUMN, instrumen Bank Indonesia (BI) 30 persen.
Sementara instrumen investasi saham, reksa dana maksimum hanya 20 persen. Terakhir deposito minimum 10 persen.
Hal ini berbanding terbalik dengan fakta yang saat ini terjadi di tubuh perusahaan pelat merah ini. Bahkan dalam fakta yang dipaparkan per tahun 2018, perseroan telah menanamkan investasi saham lebih dari 50 persen.
Sementara di intsrumen obligasi pemerintah, instrumen BI masing-masing sekitar 15 persen. Selanjutnya perusahaan investasi di properti sekitar 20 persen. Lalu deposito sekitar 5 persen.
"Lalu yang kedua, penempatan premi diluar kehati-hatian. Investasi digeser ke reksa dana saham. Sebab, kalau pakai goverment bond, itu enggak akan pernah ngejar janji return ke nasabah. Makanya, ke saham dan pencadangan saham. Pola penetrasinya enggak akan mencapai segitu," ujar Hexana.
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir menyerahkan sepenuhnya kasus hukum yang membelit perusahaan Jiwasraya, kepada kejaksaan. Sebab, persoalan hukum yang merugikan nasabah ini sudah masuk ranah hukum.
"Namun, tentu kan tadi sudah sepakat yang mana proses hukum dijalankan, tidak hanya untuk Jiwasraya, untuk semua. Tapi, juga proses yang lain harus diperbaiki ya diperbaiki," kata Erick di DPR, Senin (2/12).
Meski dalam proses hukum ia menyerahkan kepada penegak hukum, kata dia, pemerintah akan merumuskan langkah strategis untuk bisa menyelesaikan persoalan Jiwasraya. Ia mengatakan, dirinya akan duduk bersama OJK dan LPS untuk membahas hal ini.
"Saya rasa nanti kami bersama OJK, dan juga LPS kita bisa duduk. Saya tidak mau bicara sesuatu yang belum disepakati," kata Erick.