REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Jiwasraya (Persero) mengakui salah satu penyebab perusahaan gagal membayar polis kepada para nasabahnya adalah karena kesalahan strategi dalam berinvestasi. Direktur Utama Jiwasraya , Hexana Tri Sasongko menjelaskan karena salah strategi ini membut perusahaan harus menanggung beban keuangan yang menggulung dari tahun ke tahun.
Hexana menjelaskan kesalahan strategi adalah penempatan usaha yang semestinya mayoritas ditempatkan ke goverment bond, malah dimasukan ke dalam skema investasi reksa dana saham. Hal ini membuat perseroan gagal bayar polis kepada nasabah yaitu persoalan investasi yang di luar kehati-hatian.
"Saham-saham yang nilainya Rp 50 rupiah (per lembar saham) banyak sekali. Bahkan suspend banyak sekali," ujar Hexana di DPR, Senin (16/12).
Berdasarkan paparannya, komposisi portofolio investasi keuangan asuransi jiwa tidak sejalan dengan rencana jangka panjang (5 tahun) perusahaan.
Berdasarkan rencana panjang perseroan, seharusnya goverment bond menjadi instrumen investasi paling besar yaitu sebesar 30 persen. Termasuk juga obligasi korporasi non BUMN, instrumen Bank Indonesia (BI) 30 persen.
Sementara instrumen investasi saham, reksa dana maksimum hanya 20 persen. Terakhir deposito minimum 10 persen.
Hal ini berbanding terbalik dengan fakta yang saat ini terjadi di tubuh perusahaan pelat merah ini. Bahkan dalam fakta yang dipaparkan per tahun 2018, perseroan telah menanamkan investasi saham lebih dari 50 persen.
Sementara di intsrumen obligasi pemerintah, instrumen BI masing-masing sekitar 15 persen. Selanjutnya perusahaan investasi di properti sekitar 20 persen. Lalu deposito sekitar 5 persen.
"Lalu yang kedua, penempatan premi diluar kehati-hatian. Investasi digeser ke reksa dana saham. Sebab, kalau pakai goverment bond, itu nggak akan pernah ngejar janji return ke nasabah. Makanya, ke saham dan pencadanngan saham. Pola penetrasinya nggak akan mencapai segitu," ujar Hexana.