REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)/Kementerian PPN menargetkan nilai ekspor hasil perikanan pada 2024 senilai 8,2 miliar dolar AS atau Rp 114 triliun (kurs Rp 14 ribu per dolar AS) dalam Rancangan Pemerintah Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Upaya yang dikuatkan untuk mencapai target itu adalah mengkaji dan mengubah regulasi berpotensi menghambat kinerja ekspor.
Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas Sri Yanti mengakui, tidak mudah mencapai target itu. Sebab, berkaca dari lima tahun terakhir, realisasi kinerja ekspor terbilang buruk.
"Salah satu penyebabnya, adanya peraturan menteri yang dikeluarkan yang sedikit menghambat produksi, sehingga menghambat ekspor," ujarnya ketika ditemui dalam acara Workshop Perikanan Berkelanjutan di Badung, Bali, Rabu (11/12).
Target yang ditetapkan pemerintah dalam RPJMN terbilang naik signifikan dibandingkan target tahun ini, yakni 5,5 miliar dolar AS. Artinya, terjadi peningkatan hampir 50 persen dalam kurun waktu lima tahun mendatang. Untuk tahun ini saja, Sri pesimistis realisasi ekspor perikanan mencapai target.
Agar terjadi perbaikan kinerja, Sri mengatakan, pemerintah melalui Bappenas dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kini fokus membenahi regulasi. Ia menyebutkan, setidaknya ada 70an regulasi level menteri yang perlu ditinjau. "Tujuan utamanya, meningkatkan ekspor," katanya.
Sri menyebutkan, regulasi berpotensi menghambat ekspor tersebut dapat muncul dikarenakan kondisi industri perikanan yang masih minim data. Dampaknya, peraturan yang dikeluarkan pun belum tentu sesuai dengan kondisi di lapangan.
Salah satu kebijakan yang akan dievaluasi adalah larangan penggunaan cantrang. Sri mengatakan, regulasi tersebut dikeluarkan di tengah minimnya data mengenai perairan Indonesia.
“Kita belum tau, kondisi perairan kita cocok atau tidak dengan cantrang. Kita akan benahi ini semua agar data dan informasi menjadi basis kita,” ujarnya.
Selama lebih dari setahun larangan penggunaan cantrang dikeluarkan, Sri menyebutkan, belum ada perbaikan kondisi ekosistem secara signifikan. Meskipun membaik, tidak terjadi sporadis. Di sisi lain, tidak ada kenaikan ekspor dan masih kerap terjadi pelanggaran, terutama di Pulau Jawa.
Oleh karena itu, Sri menambahkan, pemerintah kini fokus mengumpulkan data sebagai basis membuat kebijakan. Baik itu regulasi untuk melarang ataupun membolehkan suatu kegiatan.
Kepala Badan Riset dan SDM KKP Syarif Wijaya mengatakan, efisiensi juga dilakukan terhadap regulasi di KKP. Ia menyebutkan, setidaknya ada 29 regulasi di bidang kelautan dan perikanan yang akan dievaluasi.
“KIta bahas bersama dengan stakeholder seperti akademisi sampai nelayan," ujarnya.
Secara umum, Syarif mengatakan, ada sejumlah arah kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan periode 2020-2024. Di antaranya, memperbaiki komunikasi dengan nelayan dan penyederhanaan perizinan hingga, pengoptimalan dan penguatan perikanan budidaya.
Selain itu, penguatan kebijakan dan regulasi berbasis data, informasi, pengetahuan faktual, dan komunikasi dengan stakeholders.
Selaras dengan arahan kebijakan itu, pemerintah mengadakan Workshop Perikanan Berkelanjutan dalam Mendukung Percepatan Pembangunan Ekonomi Nasional pada 11-12 Desember 2019 di Bali. Kegiatan ini diselenggarakan Kementerian PPN/Bappenas melalui satuan kerja Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) bersama dengan Kementerian KKP dan Kementerian Riset dan Teknologi.
Kegiatan kolaboratif ini membahas isu-isu yang menjadi tantangan serta solusi dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang melibatkan berbagai stakeholder.
Syarif berharap, workshop ini dapat mengeluarkan hasil konkret sebagai masukan kepada Pemerintah dalam mempercepat pembangunan negara. "Dalam hal ini, di bidang kelautan dan perikanan," katanya.