REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penurunan angka kemiskinan perlu dibarengi dengan strategi pemberdayaan menuju kesejahteraan agar kelas near poor tidak mudah terjatuh ke garis bawah kemiskinan. Selama ini penurunan angka kemiskinan dinilai hanya berbasis bantuan sosial yang tidak menjamin keberlanjutan.
Founder dan Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Hendri Saparini menyampaikan kelas near poor yang berada tepat di atas kelas miskin berjumlah lebih besar yakni sekitar 100 juta orang. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2019 mencapai 25,14 juta jiwa atau sekitar 9,82 persen dari total penduduk.
"Tanpa kebijakan strategis dan memberdayakan, near poor ini mudah sekali jatuh ke bawah garis kemiskinan," kata dia dalam Indonesia Poverty Outlook 2020 di Wisma Antara, Jakarta, Senin (9/12).
Pemerintah menargetkan angka kemiskinan berada di level 8,5 persen pada 2020. Hendri mengatakan angka ini memungkinkan jika hanya mengandalkan dana-dana bantuan sosial, tapi ini tidak tahan guncangan. Artinya, jika ada turbulensi ekonomi, target tersebut mudah bergeser.
Program pemberdayaan masyarakat dinilai sangat strategis untuk penanganan kemiskinan secara berkelanjutan. Inisiator dan Ketua Pembina Dompet Dhuafa, Parni Hadi menyatakan Dompet Dhuafa yang telah berdiri sejak 26 tahun lalu masih berkomitmen penuh dalam pengentasan kemiskinan.
"Melihat pengentasan kemiskinan berarti harus pemberdayaan orang miskin atau kaum dhuafa, untuk itu, perlu debirotikrasi, efisiensi dan kemandirian," katanya.
Data kajian Lembaga Think Tank bentukan Dompet Dhuafa, IDEAS menyatakan pertumbuhan garis kemiskinan yang rendah sepanjang 2016-2019. Di satu sisi ini menggambarkan keberhasilan pengendalian harga komoditas kebutuhan pokok. Namun di saat yang bersamaan juga menggambarkan kenaikan pengeluaran rumah tangga miskin yang dipicu oleh bantuan sosial.
Dalam empat tahun terakhir, sejak Maret 2015 – Maret 2019 sebanyak 3,45 juta penduduk mampu keluar dari kemiskinan. Namun demikian, pencapaian ini lebih rendah dari target Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang mematok target angka kemiskinan 7-8 persen pada 2019.
Direktur Utama Dompet Dhuafa, Imam Rulyawan menyampaikan dalam menerapkan kegiatannya, DD melakukan profetik filantropreneur yang dijabarkan dalam prophetic socio-technopreneurship atau wirausaha sosial profetik untuk memutus lima lingkaran kemiskinan. Lima pilar utamanya yakni di kesehatan, pendidikan, sosial budaya, ekonomi, dan agama.
Salah satunya dengan program Dari Desa, Demi Desa yang merupakan percikan gagasan untuk memakmurkan desa, tempat bermukim mayoritas orang miskin di Indonesia atau Prawacana Desa Development Index. Namun, pemberantasan kemiskinan tidak mutlak menjadi tugas pemerintah saja.
"Perlu kolaborasi yang lebih teknis di tatanan strategis sehingga upaya pengentasan kemiskinan merupakan upaya bersama yang menyeluruh," kata Imam.
Ia menceritakan, DD pernah memberikan bantuan pemberdayaan masyarakat melalui pertanian tomat. Namun saat panen, harga tomat jatuh karena banyaknya tomat impor. Sehingga petani tidak jadi dapat uang hasil pemberdayaan pertanian.
Ini juga terjadi pada ternak sapi dan kambing. Saat diberi bantuan usaha produktif beternak, harga ternak jatuh karena daging impor. Kebijakan yang tidak sinergis ini membuat upaya pemberantasan kemiskinan masih berjalan sendiri sehingga kurang efektif.