REPUBLIKA.CO.ID, MANGGARAI BARAT -- Bank Indonesia menyatakan, situasi perekonomian global hingga penghujung akhir tahun masih belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina yang menjadi ujung pangkal resesi ekonomi global belum tuntas. Upaya negosiasi kedua negara belum menunjukkan kesepakatan.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter BI, Endy Dwi Tjahjono, mengatakan, Indonesia bersama negara-negara lain sebelumnya telah optimistis ketika adanya sinyal kesepakatan dagang AS-Cina.
Namun, nyatanya kandas akibat adanya masalah keimigrasian di Hongkong dan Xinjiang, Cina, kedua negara kembali bersitegang. Sebab, Pemerintah AS mendukung para imigran dan demonstran di dua lokasi tersebut. "Global belum ada tanda perbaikan dan pemulihan," kata Endy di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Senin (9/12).
Sementara itu, Presiden Donald Trump, juga mengancam menaikkan tarif barang impor dari Perancis, Argentina dan Brasil. Ancaman itu memperkeruh situasi perekonomian global. Pada saat bersamaan, Jerman telah terkan dampaknya karena mengalami resesi ekonomi.
Cina, sebagai negara eksportir terbesar di dunia juga diyakini mengalami perlambatan ekonomi hingga 0,2 persen di tahun ini. Begitu pun dengan AS yang mengalami perlambatan.
Selain itu, India, bahkan diprediksi bisa mengalami penurunan pertumbuhan hingga ke bawah 5 persen yang mengejutkan banyak pihak. Harus diakui bahwa perang dagang AS-Cina yang merupakan dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia bakal memberikan dampak yang luas.,
Menurutnya, semestinya ada dukungan Presiden Trump untuk mencapai negosiasi dagang. Namun, yang terjadi justru sebaliknya sehingga situasi global belum bisa dipastikan kapan akan kondusif.
"Volume perdagangan dunia turun 2,6 hingga 3 persen, jauh melambat dibanding tahun lalu. Diikuti juga dengan penurunan harga komoditas yang diperdagangkan, ujar dia.
Sementara itu, Kepala Ekonom, Ryan Kiryanto, mengatakan, beruntung Indonesia bukan bagian langsung dari rantai pasok barang dan jasa global. Sebab, jika iya, dampak yang dirasa Indonesia akan sangat besar. Namun, setidaknya situasi global tetap melemahkan pertumbuhan domestik.
Ia memaparkan, setiap pelemahan ekonomi 1 persen di AS maka akan memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,05 persen. Adapun, jika Cina melambat 1 persen, bakal menahan pertumbuhan ekonomi Indonesia 0,27 persen.
"Kalau dua negara ini melambat, maka pengaruhnya ke Indonesia 0,32 persen," katanya.
Ryan menjelaskan, saat ini ramai dibicarakan soal disrupsi yang menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi mengalami guncangan. Menurut dia, kebijakan kepala negara yang salah juga bisa menyebabkan disrupsi yang berujung pada dampak negatif.
Aksi balas-membalas yang dilakukan oleh AS dan Cina dalam perdagangan internasional tidak dilarang oleh World Trade Organization. Sebab, jika suatu negara merasa dirugikan dengan kebijakan perdagangannya, maka negara terdampak diperbolehkan melakukan hal yang sama atau yang dikenal dengan nama retaliasi.
"Tapi, akhirnya tidak ada pemenang dalam trade war. Buktinya ekonomi keduanya melambat," kata dia.
Oleh karena itu, Ryan mengatakan BI bersama pemerintah harus melalukan bauran kebijakan yang pro pertumbuhan ekonomi domestik dan menghambat stagnasi ekonomi Indonesia. Adapun, hingga akhir tahun ini, ia menyebut bahwa hanya konsumsi rumah tangga yang bisa diharapkan menjadi penopang pertumbuhan.