REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi, mendorong adanya revolusi sektor energi dalam diskusi Pertamina Energy Forum (PEF) 2019. Pada PEF 2019, di Jakarta, Selasa (26/11), sekitar lebih dari 750 orang yang hadir bersama-sama membahas mengenai perubahan besar yang terjadi pada sektor energi.
Pertamina, sebagai pemain utama dalam sektor ini memastikan telah menyiapkan sejumlah cara untuk mengantisipasi perubahan atau revolusi yang terjadi di sektor energi. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan revolusi di sektor energi adalah hal nyata yang sudah mulai terjadi. Hal ini ditandai dengan adanya ketidakpastian seperti pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pergerakan urbanisasi, pertumbuhan kelas menengah, perubahan iklim, kemajuan teknologi, dan sebagainya.
"Pekembangan energi tidak luput dari global megatrend, penggunaan seluruh SDM menjadi industrialisasi, seluruh SDA tereskploitasi, terjadi keterbatasan, climate change, di sisi lain terjadi pertumbuhan populasi yang sangat cepat," kata Nicke saat membuka Pertamina Energy Forum 2019.
Nicke mengatakan dalam setiap tantangan yang dihadapi, pasti terdapat beberapa faktor yang dapat diubah menjadi kesempatan dan bahkan didorong untuk menjadi kekuatan utama.
Pertamina sendiri telah melakukan berbagai inisiatif untuk berkontribusi menurunkan impor. Salah satunya adalah megaproyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Grass Root Refinery (GRR), proyek gasifikasi batu bara bersama PT Bukit Asam Tbk (PTBA). Tidak hanya itu, Pertamina juga masuk ke biorefinery untuk memproduksi biodiesel.
“Pertamina sudah siap menjalankan B30 mulai 21 November 2019 lalu. Ini cukup signifikan menurunkan impor,” Nicke.
Seperti diketahui, sejak 21 November 2019 Pertamina sudah mulai meyediakan B30 di dua Terminal BBM dan akan terus diperluas ke titik distribusi lainnya hingga Desember 2019.