Sabtu 23 Nov 2019 05:52 WIB

Pengusaha Sarankan Kenaikan UMP tidak Merata

Jika memungkinkan pengusaha meminta daerah yang sudah tinggi UMK nya tidak naik lagi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Dwi Murdaningsih
Upah buruh dan pekerja. ilustrasi
Upah buruh dan pekerja. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani mengusulkan kepada pemerintah agar tidak menaikkan upah secara merata. Tujuannya, agar tidak terjadi pemindahan secara masal ke suatu daerah yang memiliki upah minimum provinsi (UMP) rendah hingga berpotensi menumpuk.

Rosan menjelaskan, besaran upah minimum daerah selalu meningkat dari tahun ke tahun. Akibatnya, pergeseran sudah mulai terjadi ke daerah dengan UMP rendah. Misalnya, dari Karawang, Jawa Barat, ke beberapa daerah di Jawa Tengah.

"Apakah memungkinkan, untuk daerah yang sudah tinggi ini, kita setop dulu kenaikannya?," ujarnya saat ditemui di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (22/11) siang.

Apabila kenaikan UMP dibiarkan terjadi merata secara terus menerus, dampaknya adalah industri akan terfokus pada satu daerah. Rosan mengatakan, pihak merugi bukanlah dunia usaha, melainkan pemerintah daerah yang ditinggalkan oleh industri.

Rosan memberikan contoh, daerah yang sudah memiliki UMP Rp 4 juta per bulan, kenaikan nominal dapat ditekan menjadi 5,0 persen ke tahun depannya. Sedangkan, daerah dengan UMP Rp 1,6 juta per bulan bisa saja naik hingga 8,5 persen.

Tapi, Rosan menekankan, kenaikan yang tidak merata ini tetap harus disesuaikan dengan biaya hidup dan inflasi daerah. "Intinya, biar semua sejajar dulu, baru kita naiknya bareng-bareng," tuturnya.

Pengusaha juga menganjurkan agar usaha mikro dan kecil terlepas dari kenaikan upah minimum. Sebab, skala mereka masih rumahan, sehingga berat untuk menyesuaikan tingkat kenaikan. Rosan menyebutkan, saran ini sudah terfasilitasi dalam omnibus law yang kini tengah diselesaikan pemerintah.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani juga sempat mengusulkan penghapusan upah minimum sektoral. Menurutnya, kebijakan upah minimum sektoral justru dapat mendorong pekerja untuk pindah ke wilayah lain yang memiliki upah minimum lebih besar. Hasil akhirnya, terjadi ketidakmerataan.

Selain itu, Hariyadi juga mengusulkan upah minimum dibagi berdasarkan sektor, yaitu padat modal dan padat karya. Hanya saja, saran ini belum disampaikan secara mutlak dari dunia usaha kepada pemerintah. "Ini masih 'cair', kita harus lihat (situasi) dulu," ujarnya ketika ditemui dalam acara 7th US-Indonesia Investment Summit di Jakarta, Kamis (21/11).

Hariyadi turut meminta pemerintah mengganti rumus penghitungan upah minimum. Saat ini, diketahui mekanisme penghitungannya ditentukan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement