REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serapan belanja modal tercatat sebagai belanja kementerian dan lembaga (K/L) dengan pertumbuhan terlambat selama periode Januari sampai Oktober 2019. Pertumbuhannya negatif 6,1 persen dibandingkan tahun lalu menjadi Rp 100,8 triliun hingga akhir Oktober. Kondisi ini kontras dengan pertumbuhan periode sama pada tahun lalu yang dapat tumbuh 1,2 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, kontraksi pada belanja modal itu disebabkan pada proses pembebasan lahan yang berjalan lebih lamban sepanjang tahun 2019. Dampaknya, proses eksekusi pun menjadi terhambat.
"Selain itu, karena adanya penyelesaian lelang yang lebih rendah dari target atau efisiensi pemanfaatan sisa tender," ujarnya dalam konferensi pers APBN Kinerja dan Fakta (KiTa) 2019 di kantornya, Jakarta, Senin (18/11).
Meski kontraksi, Sri optimistis, penyerapan belanja modal pada dua bulan terakhir di 2019 ini dapat meningkat. Faktor utamanya, proses pelelangan yang sudah mulai rampung, kemajuan output fisik pekerjaan dan termin penarikan dana.
Pembangunan di dalam negeri pun dipastikan Sri tetap berjalan seperti biasa. Misalnya, pembangunan jalan baru yang mencapai 183,4 kilometer (km), pembangunan jalan tol sepanjang 9,3 km maupun pembangunan jembatan 6,43 km oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) hingga akhir Oktober.
Nada optimisme juga disampaikan Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani. Ia memprediksi, penyerapan belanja modal hingga akhir tahun dapat menyentuh 90 persen dari pagunya, atau tidak jauh berbeda dibandingkan pencapaian tahun lalu.
"Sekitar satu hingga dua persen di atas tahun lalu (penyerapannya)," ucapnya.
Keyakinan Askolani bukan tanpa sebab. Menurutnya, kini penyerapan belanja modal tinggal eksekusi. Artinya, hanya dibutuhkan proses dokumentasi dan pelaporan membayar saja. Sedangkan, sebagian besar dari kegiatan fisiknya sudah berjalan dan beberapa ada yang telah rampung.
Selain hambatan yang disampaikan Sri, Askolani menuturkan, kontraksinya pertumbuhan realisasi belanja modal terjadi karena pagu pada APBN 2019 lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Tercatat, belanja modal dalam APBN 2019 adalah Rp 189,3 triliun, sedangkan pagu APBN 2018 sebesar Rp 203,9 triliun. "Tapi kalau dari persentase serapan kan lebih tinggi dari tahun lalu," katanya.
Pada periode Januari hingga Oktober 2019, persentase penyerapan belanja modal adalah 53,2 persen terhadap pagu APBN. Angka ini tumbuh dibandingkan periode sama pada tahun lalu, 52,7 persen dari pagu APBN 2018.
Kontras dengan belanja modal, tiga belanja K/L lain justru mengalami pertumbuhan positif. Misalnya saja belanja pegawai yang tumbuh 12,5 persen menjadi Rp 204,4 triliun, naik dibandingkan pertumbuhan tahun lalu 9,1 persen menjadi Rp 181,7 triliun.
Realisasi belanja bantuan sosial sampai dengan Oktober 2019 sebesar Rp 91,7 triliun, tumbuh 32,7 persen dari periode yang sama pada tahun lalu. Termasuk di dalamnya adalah Program Keluarga Harapan dengan realisasi Rp 32,7 triliun dan bantuan pangan sebesar Rp 25,8 triliun.
Terakhir, realisasi belanja barang sebesar Rp 236,5 triliun, tumbuh 3,5 persen. Di antaranya untuk pembangunan fisik seperti rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan pemeliharaan jalan ataupun jembatan.
Secara total, belanja K/L pada periode Januari hingga Oktober 2019 sudah mencapai Rp 633,5 triliun atau 74 persen dari pagu APBN 2019. Nilai ini tumbuh 8,0 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, Rp 586,7 triliun atau 69,2 persen dari pagu APBN 2018.