Senin 18 Nov 2019 17:49 WIB

Penerimaan Pajak Masih 64 Persen dari Target APBN 2019

Penerimaan Pph Migas dan Nonmigas mengalami kontraksi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Menteri Keuangan Sri Mulyani  saat memaparkan kinerja APBN 2019 hingga akhir Oktober 2019 di Gedung Dhanapala, Jakarta, Senin (18/11).
Foto: Biro Humas Kemenkeu
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat memaparkan kinerja APBN 2019 hingga akhir Oktober 2019 di Gedung Dhanapala, Jakarta, Senin (18/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerimaan pajak sepanjang Januari sampai Oktober mencapai Rp 1.018,47 triliun atau masih 64,56 persen terhadap target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019, Rp 1.577,56 triliun. Capaian penerimaan pajak ini tumbuh 0,23 persen dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu. 

Meski tumbuh, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan, Pajak Penghasilan (PPh) migas masih menghadapi kontraksi. Pertumbuhannya negatif 9,3 persen, kontras dengan pertumbuhan periode yang sama pada tahun lalu, yaitu tumbuh di kisaran 28 persen.

Baca Juga

"Tekanan pada harga minyak sangat berefek pada kinerja dari penurunan PPh migas sendiri," ujarnya dalam konferensi pers APBN Kinerja dan Fakta (KiTa) di Gedung Dhanapala, Jakarta, Senin (18/11). 

Tercatat, Indonesia Crude Price (ICP) atau harga minyak mentah Indonesia per akhir Oktober 2019 adalah 62,0 dolar AS per barel, juah di bawah asumsi makro pada  APBN 2019, yaitu 70 dolar AS per barel. Di sisi lain, lifting minyak dalam periode yang sama hanya 744 ribu barel per hari, di bawah asumsi makro 775 ribu barel per hari. 

Sementara itu, lifting gas per akhir Oktober juga masih di bawah asumsi makro (1.250 ribu barel setara minyak per hari), yakni 1.050 ribu barel setara minyak per hari. Nilai tukar rupiah hingga akhir per pekan lalu (11/11) adalah Rp 14.162 per dolar AS, di bawah asumsi makro APBN 2019, Rp 15.000 per dolar AS. 

Perlambatan juga terjadi pada pajak nonmigas. Suryo mengatakan, PPh nonmigas sepanjang periode Januari hingga Oktober 2019 mampu tumbuh 3,3 persen, namun tetap melambat dibandingkan tahun lalu, yakni 17 persen. 

"Kontraksinya lumayan, tapi setidaknya masih ada pertumbuhan," ujarnya. 

Kondisi sedikit berbeda dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) non migas yang kontraksi dengan pertumbuhan minus 4,2 persen. Pada periode Januari sampai Oktober 2019, nilainya adalah Rp 388 triliun, sedangkan periode yang sama pada tahun lalu dapat mencapai Rp 405 triliun. 

Secara sektoral, kinerja penerimaan pajak pada sektor primer seperti pertambangan dan pengolahan menghadapi tekanan paling dalam. Keduanya masing-masing mengalami pertumbuhan negatif 3,5 persen dan 22,1 persen (yoy) sepanjang periode Januari sampai Oktober 2019. Sementara itu, sektor perdagangan tumbuh 2,5 persen, melambat drastis dibandingkan tahun lalu 25 persen.

Kontribusi tekanan restitusi serta kondisi ekspor impor tersebut menjadi faktor utama yang menekankan kinerja sektor industri pengolahan dan perdagangan. Perlambatan industri manufaktur juga tercermin pada indeks Purchasing Manager Index (PMI) bulan Oktober sebesar 47,7, terendah di Indonesia sejak 2016. 

Di tengah tekanan terhadap beberapa sektor, masih ada beberapa sektor yang tumbuh sehat. Yaitu jasa keuangan dan asuransi maupun transportasi dan pergudangan yang masing-masing tumbuh 7,0 persen dan 17,9 persen. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement