Senin 18 Nov 2019 15:25 WIB

Defisit APBN per Oktober Capai Rp 289,1 Triliun

Defisit APBN sebesar Rp 289,1 triliun masih lebih rendah dari outlook pemerintah.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan pers APBN KiTa di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (26/8/2019).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan pers APBN KiTa di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (26/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sampai Oktober 2020 mencapai Rp 289,1 triliun atau sekitar 1,80 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini meningkat dibandingkan Agustus 2019, yakni Rp 199,1 triliun. Defisit ini juga lebih lebar dibandingkan tahun lalu pada periode yang sama, Rp 229,7 triliun atau 1,56 persen terhadap PDB. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, defisit Rp 289,1 triliun masih lebih rendah dari outlook terakhir pemerintah yakni 2,0 hingga 2,2 persen terhadap PDB. Hanya saja, memang defisit sampai Oktober ini sudah hampir mendekati target, sehingga patut terus diwaspadai. 

"Ini kenaikan defisit cukup besar dibandingkan tahun lalu, (tumbuhnya) yakni 25,8 persen," ujarnya dalam konferensi pers APBN Kinerja dan Fakta (KiTa) di Gedung Dhanapala, Jakarta, Senin (18/11). 

Sri menuturkan, kenaikan defisit tersebut terjadi karena adanya perlambatan terhadap penerimaan negara. Khususnya dari penerimaan pajak migas maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan adanya tekanan dari penerimaan pajak non migas pada sektor primer dan sekunder. 

Sampai dengan Oktober 2019, total pendapatan negara mencapai Rp 1.508,9 triliun atau 69,7 persen terhadap pagu APBN. Nominal ini tumbuh 1,2 persen dibandingkan tahun lalu, atau jauh lebih melambat dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, 21,3 persen. 

Sri menjelaskan, pelambatan pada pendapatan tersebut disebabkan penerimaan migas yang secara volume maupun harga di bawah asumsi makro. Indonesia Crude Price (ICP) atau harga minyak mentah Indonesia per akhir Oktober 2019 adalah 62,0 dolar AS per barel, juah di bawah asumsi makro pada  APBN 2019, yaitu 70 dolar AS per barel. Di sisi lain, lifting minyak dalam periode yang sama hanya 744 ribu barel per hari, di bawah asumsi makro 775 ribu barel per hari. 

Lifting gas per akhir Oktober juga masih di bawah asumsi makro (1.250 ribu barel setara minyak per hari), yakni 1.050 ribu barel setara minyak per hari. Nilai tukar rupiah hingga akhir per pekan lalu (11/11) adalah Rp 14.162 per dolar AS, di bawah asumsi makro APBN 2019, Rp 15.000 per dolar AS. 

Sri menyebutkan, empat faktor ini yang mempengaruhi penerimaan pajak migas dan PNBP menjadi lebih rendah. "Ini jadi salah satu tekanan dalam penerimaan, terutama dari sisi migas," tuturnya. 

Pelambatan juga terjadi pada belanja negara. Hingga akhir Oktober 2019, belanja negara adalah Rp 1.778 triliun atau 73 persen terhadap pagu APBN dan tumbuh 4,5 persen. Sedangkan, pada periode Januari sampai Oktober 2018, besaran belanja negara mencapai Rp 1.720 triliun atau 77,8 persen terhadap APBN dan tumbuh 11,9 persen. 

Sementara itu, besaran pembiayaan anggaran per Okotber 2019 sudah mencapai 373,4 triliun, tumbuh 15,6 persen yoy. Sri menilai kondisi pembiayaan masih cukup aman mengingat pemerintah sudah melakukan strategi front loading dan tendensi suku bunga yang menurun. 

"Kita bisa lakukan financing cukup aman dan dengan pembiayaan yang bisa dijaga, pembiayaan melalui utang mengalami pertumbuhan 15,6 persen," ujarnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement