REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menilai, masih banyak residu di sektor ketenagakerjaan yang dapat mengancam keberlanjutan pembangunan Indonesia. Hal ini terjai di tengah capaian ketenagakerjaan pada 2019 yang terlihat mengesankan melalui penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT).
Salah satu residu yang disebutkan Heri adalah struktur tenaga kerja masih didominasi oleh tamatan pendidikan rendah. Setidaknya 58,7 persen dari total tenaga kerja Indonesia masih lulusan SMP ke bawah. Tren ini sulit diturunkan dalam 10 tahun terakhir. "Ini yang menyebabkan hampir 30 persen tenaga kerja sulit beranjak dari sektor pertanian ke manufaktur," ujarnya dalam diskusi online Indef pada Ahad (10/11) sore.
Heri mencatat, kontribusi pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia adalah 13,45 persen. Tapi, tenaga kerja yang terserap mencapai 29,5 persen. Artinya, kue ekonomi yang relatif kecil itu diperebutkan banyak tenaga kerja. Oleh sebab itu, income per kapita di sektor ini relatif kecil.
Di sisi lain, manufaktur yang sudah menjadi leading sector dengan kontribusi 19,6 persen terhadap PDB hanya menyerap tenaga kerja sekitar 14,1 persen. Heri menyebutkan, masalah struktur ketenagakerjaan inilah yang menjadi salah satu sumber ketimpangan sektoral dan pendapatan.
Residu kedua, kesiapan tenaga kerja menyikapi era digital dan automasi. Heri mengatakan, era digital tentu menuntut sumber daya manusia (SDM) Indonesia harus berhadapan dengan faktor disrupsi teknologi.
"Bagaimana nanti tenaga kerja kita yang lebih dari 58 persennya berketerampilan rendah, karena masih lulusan SMP ke bawah, menyikapinya?"
Dari banyak survei, Heri menekankan, automasi seperti dua sisi mata uang. Satu sisi, automasi memberikan peluang, namun di sisi lain memberikan ancaman terhadap ketenagakerjaan. Untuk menjadikannya sebagai peluang, dibutuhkan upaya kolaboratif.
Residu ketiga, perlu adanya upaya mempercepat perbaikan kualitas ketenagakerjaan. Dengan melihat keterbatasan di sisi pemerintah, Heri menilai, dibutuhkan kolaborasi dengan berbagai lembaga pendidikan swasta dan dunia usaha.
"Misal, dengan membangun teaching factory atau pembelajaran berbasis kegiatan produksi," ucapnya.
Dengan melihat berbagai permasalahan struktural ini, Heri mempertanyakan kepada pemerintah mengenai efektivitas kartu pra kerja yang disebutkan pemerintah mampu menjadi solusi. Sekiranya, pemerintah masih membutuhkan waktu untuk menyiapkan dengan matang program ini. Khususnya terkait penguatan basis data untuk penetapan calon penerima kartu pra kerja.
Heri menjelaskan perlu verifikasi, uji coba dan konfirmasi data implementasi kartu pra kerja. Kalau tidak, program ini justru akan menimbulkan kerugian kepada pemakainya. Untuk lebih mematangkannya, pemerintah dapat bekerja sama dengan dunia usaha agar calon tenaga kerja yang menerima pelatihan vokasi pada akhrnya dapat terserap di perusahaan.
"Durasi pelatihan juga perlu lebih lama, tidak bisa hanya satu sampai dua bulan dengan infrastruktur seadanya," katanya.