Jumat 08 Nov 2019 08:00 WIB

Menkes: Iuran Kelas III BPJS Kesehatan akan Disubsidi

Tetapi, baru kita hitung supaya tidak salah anggarannya.

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Foto: republika
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

REPUBLIKA.CO.ID, MAGELANG – Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto mewacanakan pemberian subsidi bagi peserta mandiri tertentu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Menurut dia, wacana tersebut perlu diterapkan demi meringankan beban masyarakat pascakenaikan premi bulanan BPJS Kesehatan.

“Iuran untuk kelas I dan kelas II yang naik, sedangkan iuran kelas III disubsidi. Tetapi, baru kita hitung supaya tidak salah anggarannya,” ujar Menkes Terawan saat mendampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin saat peresmian Rumah Sakit Syubbanul Wathon di Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis.

Baca Juga

Dia menjelaskan, wacana subsidi itu menarget peserta bukan penerima upah (PBPU) yang memilih layanan kesehatan kelas III. Kalangan ini berbeda daripada pekerja penerima upah (PPU) yang melakukan pembayaran iuran melalui pemotongan upah tiap bulan oleh pihak perusahaan tempat mereka bekerja.

Dia menjelaskan, ada beberapa hal yang perlu dipastikan supaya iuran BPJS Kesehatan bagi PBPU yang memilih layanan kelas III tidak naik melalui cara subsidi. Bila wacana ini terwujud, kalangan penerima bantuan iuran (PBI) bukan satu-satunya yang disubsidi negara agar dapat dijamin BPJS Kesehatan. Untuk itu, lanjut dia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan berkoordinasi dengan sejumlah kementerian dan lembaga terkait.

“Ini baru dibahas bagaimana membantu PBPU supaya kelas III ini seolah-olah tidak terjadi kenaikan iuran. Hal itu baru mau kita selesaikan. Kan (kenaikan iuran BPJS Kesehatan) belum berlaku. Masih 1 Januari 2020,” ucap mantan kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto itu.

“Pemerintah berusaha membantu rakyat dengan menggelontorkan dana untuk peserta yang iurannya ditanggung pemerintah dan peserta bukan penerima upah (PBPU) juga terbantu,” sambung dia.

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan berdasarkan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid ini akan berlaku efektif sejak 1 Januari 2020 mendatang.

Untuk peserta mandiri, iuran kelas III naik menjadi Rp 42 ribu dari semula Rp 25.500 per orang per bulan. Iuran kelas II naik dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu. Adapun premi bulanan untuk kelas I naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan hingga 100 persen ini menimbulkan ketidakpuasan di berbagai daerah.

photo
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto (kiri) dan Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris (kanan) mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11/2019).

Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bengkulu Sefty Yuslinah mengatakan, dirinya mendapat banyak keluhan dari masyarakat setempat terkait kenaikan premi BPJS Kesehatan. Dia berharap, pemerintah mempertimbangkan ulang kebijakan tersebut.

“Sekarang kan semua mahal. Sementara, pemasukan masyarakat sedikit. Apalagi, petani kopi serta komoditas lainnya. Di tengah kondisi seperti ini, malah iuran BPJS Kesehatan naik,” ujar Sefty saat ditemui di Kota Bengkulu, Kamis.

Sementara itu, Komisi IX DPR mengadakan rapat dengar pendapat dengan perwakilan sejumlah asosiasi rumah sakit kemarin. Wakil Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Noor Arida Sofiana mengatakan, sebanyak 73 persen anggota perhimpunan ini merupakan mitra BPJS Kesehatan. Namun, banyak RS swasta yang merasa dirugikan.

“Pembayaran klaim BPJS Kesehatan ke rumah sakit sering terlambat akhir-akhir ini. Bahkan, ada yang belum dibayar sehingga mengganggu dan menjadi kendala bagi rumah sakit,” ujar Noor di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis.

Dia mengatakan, banyak rumah sakit terpaksa berutang kepada bank untuk menutup aliran dana yang seharusnya mereka peroleh dari klaim BPJS Kesehatan. Masalahnya, utang tersebut menimbulkan bunga yang dihitung per hari ketika waktu pembayaran sudah jatuh tempo.

Di samping itu, lanjut Noor, rumah sakit swasta juga mengeluhkan kebijakan pajak obat dan alat kesehatan yang cukup tinggi karena masih dianggap sebagai barang mewah.

“Di negara lain, tidak ada pajak obat atau alat kesehatan. Kalaupun ada, sangat minimal,” ucap dia.

Menkes Terawan mengatakan, pemerintah akan menggelontorkan dana sekitar Rp 9,7 triliun untuk mengatasi tunggakan BPJS Kesehatan di sejumlah rumah sakit. “Saya sudah mengajukan ke Menteri Keuangan. Sudah saya tanda tangani sekitar Rp 9,7 triliun untuk membantu menggelontorkan sehingga mengurangi defisit,” ucap dia. n antara ed: hasanul rizqa

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement