REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satuan Tugas Waspada Investasi menyebut penyelenggara aplikasi fintech peer to peer lending ilegal memiliki cara untuk mengelabui konsumen. Salah satunya dengan menggunakan server yang berada di luar negeri.
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing mengatakan saat ini pinjaman online ilegal masih marak di Indonesia. Bahkan layanan tersebut sangat meresahkan karena memberlakukan bunga yang besar hingga ancaman saat penagihan.
“Memang ada fintech pinjaman online ilegal ini dari berbagai negara," ujarnya di Kafe The Gade, Jakarta, Jumat (1/11).
Tongam menjelaskan server dari Amerika Serikat sebanyak 15 persen, Singapura delapan persen, China enam persen, Malaysia dua persen, Hong Kong satu persen dan Rusia satu persen. Sisanya, server berada di negara lainnya.
“Saat ini pemblokiran dilakukan dengan sinergi antar lembaga terkait. Seperti Kementerian Kominfo, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), satgas waspada investasi sampai Google,” jelasnya.
Dia menceritakan beberapa bulan lalu ada fintech ilegal asal Korea Selatan yang diblokir oleh Satgas. Kemudian, perwakilan kedutaan besar Korea Selatan yang datang ke satgas dan meminta maaf.
"Pernah ada perwakilan kedubes Korea Selatan datang minta maaf, karena ada server di sana yang terindikasi fintech ilegal. Dia langsung mencari di sana dan diblokir, karena dia tidak ingin tercemar. Karena itu dia mengajak kerja sama untuk pemblokiran secara cepat jika ada yang berasal dari Korea Setalan," jelasnya.
Per 31 Oktober 2019 Satgas menemukan 297 entitas fintech ilegal yang sudah diblokir. Saat ini jumlah perusahaan fintech lending yang terdaftar dan berizin di OJK hingga September sebanyak 127 perusahaan.
Berdasarkan data OJK, penyaluran pinjaman P2P lending per 31 Agustus 2019 mencapai Rp 54,7 triliun dengan jumlah peminjam 530.385 peminjam di mana 207.507 merupakan entitas serta untuk jumah pemberi pinjaman 12,8 juta di mana 4,4 juta merupakan entitas.