REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memprediksi, pertumbuhan ekonomi global pada tahun depan mungkin tidak mencapai 3,1 persen. Faktor utamanya, hubungan dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina yang sudah setahun lebih ini berada dalam kondisi tegang.
Apabila dua ekonomi terbesar dunia tersebut tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan perang dagang atau semakin memburuk, Perry memproyeksikan ekonomi global pada 2020 hanya tumbuh 3,0 persen. Bahkan, mungkin saja dapat menyentuh tingkat 2,9 persen. "Karena, kita tidak tahu Amerika Cina akan sepakat atau memburuk," ucap dia, usai acara CEO Networking 2019 di Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta, Kamis (31/10).
Prediksi Perry itu lebih rendah dibandingkan proyeksi lembaga internasional seperti Dana Monetary Fund (International Monetary Fund/IMF), yakni 3,4 persen. Sementara itu, Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi global dapat tumbuh 3,3 persen.
Proyeksi Perry terhadap kondisi ekonomi global tahun depan juga tidak lebih baik dibandingkan proyeksi sampai akhir tahun ini, yakni 3,0 persen. Prediksi tersebut disampaikannya dengan asumsi bahwa tensi perang dagang antara AS dengan Cina tidak memburuk. Artinya, tarif bea masuk 25 persen yang dikenakan AS terhadap 250 miliar produk Cina tidak ditambah.
Berdasarkan berbagai asumsi tersebut, Perry mengatakan, BI berkomitmen untuk terus mencermati perkembangan global. Sebab, Indonesia sebagai negara dengan perekonomian terbuka pasti akan terpengaruh dengan dinamika global.
Di sisi lain, BI juga masih membuka peluang lebih besar terhadap berbagai kebijakan moneter yang akomodatif. Baik itu dalam bentuk penyesuaian suku bunga, penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) hingga relaksasi makro prudensial. "Instrumen ini terbuka ruang untuk lebih akomodatif," ujar Perry.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, aktivitas ekonomi di dunia sebenarnya masih baik. Pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal ketiga yang mencapai 1,9 persen dilihatnya sebagai nilai yang masih tumbuh tinggi dalam konteks dinamika global saat ini. Bahkan, tingkat pengangguran AS mencapai titik terendah.
Situasi serupa juga terjadi pada Cina. Meski menghadapi rebalancing, Negeri Tirai Bambu ini tetap dapat tumbuh di kisaran enam persen, bahkan hingga kuartal terakhir. "Artinya, dua ekonomi terbesar ini masih tumbuh cukup positif," kata Sri.
Begitupun dengan Eropa yang kini masih dalam posisi pemulihan setelah krisis ekonomi dan keuangan pada 2008 hingga 2009. Sri menjelaskan, dalam konteks ekonomi dunia pun, resesi ekonomi belum terjadi.
Hanya saja, tahun ini memang terjadi akselerasi dari ekspektasi negatif yang muncul secara cukup berkelanjutan. Penyebabnya, perang dagang yang dimulai pada pertengahan 2018 hingga mempengaruhi psikologis dunia.
Sri menceritakan, AS yang semula dikenal sebagai negara terbuka kini bahkan cenderung proteksionisme. Dinamika politik dalam AS sebagai ekonomi terbesar di dunia menimbulkan ketidakpastian, sehingga berpengaruh pada psikologis dunia. Kondisi itu diperparah dengan perkiraan perdagangan global di kuartal terakhir yang hanya tumbuh satu persen. "The lowest (terendah), bahkan sebelum krisis," tuturnya.
Terlepas dari itu, Sri menambahkan, ekonomi Indonesia sebetulnya tumbuh baik. Di tengah kenaikan dan penurunan harga komoditas, ekonomi Indonesia mampu tumbuh di kisaran lima persen pada 10 tahun terakhir. Artinya, Indonesia masih memiliki kemampuan menjaga momentum yang dapat menjadi daya tarik besar di mata investor asing maupun domestik.