Selasa 29 Oct 2019 05:58 WIB

Edhy Kaji Ulang Larangan Penggunaan Cantrang

Edhy menilai penggunaan cantrang masih layak dan dimungkinkan bagi nelayan.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Gita Amanda
Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo mengamati suasana Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta, Senin (28/10/2019).
Foto: Antara/Galih Pradipta
Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo mengamati suasana Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta, Senin (28/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo bakal mengkaji ulang larangan penggunaan cantrang bagi nelayan. Padahal sebelumnya, mantan menteri KKP Susi Pudjiastuti tegas menolak penggunaan cantrang.

Dengan masih terbelahnya fakta dan pendapat atas bahaya atau tidaknya cantrang terhadap ekosistem, Edhy menilai penggunaan cantrang masih layak dan dimungkinkan bagi nelayan. Apalagi dengan banyaknya fakta penggunaan cantrang yang mayoritasnya masih digunakan nelayan, hal itu menjadi pertimbangan tersendiri.

Baca Juga

"Faktanya masih banyak nelayan kita yang menggunakan (cantrang), kalau dilarang mereka nggak bisa melaut, mau makan apa? Kita harus pikirkan matang-matang," kata Edhy, di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta, Senin (28/10) lalu.

Meski begitu Edhy mendorong bahwa penggunaan cantrang bagi nelayan yang sudah mulai tidak menerapkan, agar tak dihentikan. Apalagi saat ini sudah terdapat teknologi alat tangkap yang lebih ramah lingkungan dan beberapa nelayan sudah memilikinya.

Larangan cantrang dan 16 alat tangkap lainnya yang dinilai merusak lingkungan telah diterapkan sejak 2018. Dalam Peraturan Menteri Kelautan Jomor 2 Tahun 2015 dan Nomor 71 Twhun 2016 disebutkan, larangan penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan ditujukan guna menjaga ekosistem laut.

Dalam realitanya, aturan larangan ini banyak menuai pro dan kontra. Tak hanya di lingkup nelayan, perdebatan juga terjadi di lintas pejabat kabinet. Bahkan, larangan penggunaan cantrang membuat Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan buka suara dan meminta menteri Susi kala itu untuk menghentikan aturannya.

Sedangkan Edhy berpendapat bahwa kajian mengenai penggunaan cantrang memang masih menjadi perdebatan. Namun sebagai menteri, pihaknya mengaku akan mendengarkan dan mengakomodir seluruh pihak sambil menunggu kesiapan nelayan untuk tidak lagi melaut menggunakan cantrang.

Kesiapan nelayan itu dinilai penting guna menjaga kelangsungan pendapatan nelayan. Menurutnya, selama ini terdapat pendapat yang menyatakan bahwa cantrang tidak dioperasikan di terumbu karang karena alat tangkap tersebut bakal robek. Untuk itu cantrang hanya digunakan di perairan yang berdasar lumpur atau pasir.

Lebih lanjut Edhy menyebut, penggunaan cantrang kerap dilakukan untuk menangkap ikan demersal atau ikan-ikan yang berada di dasar laut dan danau. Sehingga penggunaannya saat ini masih relevan dan cukup dibutuhkan nelayan.

"Meski memang kita sudah bagikan alat tangkap yang ramah lingkungan, tapi penggunaan cantrang memang kebanyakan untuk nangkap (ikan) yang ada di dasar laut kan," ungkapnya.

Di sisi lain Edhy membeberkan akan mengoptimalisasi penangkapan ikan guna mengejar target ekspor yang maksimal. Berdasarkan catatn KKP, Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua dunia yang mencapai 99 ribu kilometer (km) dengan luas perairan mencapai 6,3 juta km persegi.

Sedangkan berdasarkan Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), nilai kekayaan laut Indonesia mencapai Rp 1.772 triliun dengan potensi kekayaan lebih dark Rp 1.700 triliun. Dengan potensi tersebut, Edhy mengaku akan memanfaatkan peluang yang ada dengan mengajak kembali nelayan untuk berkomunikasi secara dua arah.

Sebagai catatan, cantrang merupakan alat penangkap ikan yang menyerupai trawl atau pukat harimau. Hanya saja, cantrang menggunakan jaring yang ukurannya lebih kecil. Satu cantrang biasanya terdiri dari kantong, mulut jaring, tali penarik, pelampung, pemberat, serta dilengkali dengan dua tali selambar yang cukup panjang.

Adapun tali tersebut panjangnya dapat mencapai 6.000 meter bagi kapal dengan kapasitas 30 gross tonnage (GT). Dengan panjang itu, cakupan sapuan tali dapat mencapai kedalaman hingga 292 hektare dan berpotensi besar merusak ekosistem laut semisal terumbu karang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement