Sabtu 26 Oct 2019 12:25 WIB

Angka Pengangguran Jadi Tantangan Tim Ekonomi Jokowi

Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia mencapai 5,01 persen.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Nidia Zuraya
Seorang pencari kerja mengisi pendaftaran di salah satu stand perusahaan saat bursa kerja. ilustrasi
Foto: ANTARA
Seorang pencari kerja mengisi pendaftaran di salah satu stand perusahaan saat bursa kerja. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintahan periode pertama Jokowi dinilai telah cukup berhasil menurunkan angka pengangguran. Namun, ketidaksesuaian keahlian dengan kebutuhan industri masih menjadi tantangan ketenagakerjaan untuk diatasi pada periode kedua ini.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Tingkat pengangguran terbuka (TPT) menjadi 5,01 persen pada Februari 2019 ini. Sementara jumlah angkatan kerja pada Februari 2019 sebanyak 136,18 juta orang, naik 2,24 juta orang dibanding Februari 2018. Akan tetapi, peningkatan tenaga kerja ini justru banyak diserap oleh sektor informal.

Baca Juga

Hal ini karena komposisi tenaga kerja Indonesia didominasi lulusan SD dan SMP sebanyak 75,37 juta orang atau 58,7 persen. Sedangkan tenaga kerja berpendidikan tinggi, kecuali SMA, yakni SMK, diploma dan sarjana, justru meningkat.

Dalam lima tahun terakhir, pengangguran dengan ijazah SMK, meningkat dari 7,21 persen menjadi 8,63 persen. Sementara pengangguran lulusan diploma dan sarjana naik dari 5,87 persen menjadi 6,89 persen dan 4,31 persen menjadi 6,24 persen. Hanya SMA yang mengalami penurunan dari 9,10 menjadi 6,78 persen.

Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Agung Pambudi, sebanyak 60 persen tenaga kerja lulusan SD dan SMP terserap di sektor padat karya, khususnya industri makanan, minuman dan garmen.

"Industri garmen juga beberapa tahun terakhir itu cukup lumayan, karena ada perang dagang jadi imbasnya positif pada garmen. Industri padat karya ini memang cukup banyak menyerap tenaga kerja," ujar Agung Pambudi kepada Republika.co.id, Jumat (25/10).

Iklim investasi tidak dipungkiri harus didorong untuk penciptaan lapangan pekerjaan. Akan tetapi, dari sisi tenaga kerja, kata Agung, diperlukan skill redevelopment bagi para pekerja dan calon tenaga kerja.

"Itu sejalan dengan visi misi Jokowi, prioritas kabinet lima tahun ke depan. Konteks itu menjadi sangat penting

karena kebutuhan industri sekarang menggunakan teknologi tinggi," kata Agung.

Ketidaksesuaian antara skill dengan jenis pekerjaan yang tersedia  menyebabkan kurang terserapnya tenaga kerja. Padahal saat ini, lebih banyak pekerjaan yang berkaitan dengan teknologi.

Pekerjaan yang hilang

photo
Tenaga kerja

Bahkan dalam beberapa tahun ke depan diperkirakan akan ada pekerjaan yang hilang, dan lebih banyak lagi pekerjaan baru yang muncul. Akibatnya, banyak lulusan yang tidak laku di pasaran.

"Ini menunjukkan tenaga kerja yang disesuaikan oleh institusi formal tidak mengikuti dinamika, jadi harus ada pembenahan," kata Ekonom Indef Ahmad Heri Firdaus.

Oleh karena itu, saat ini telah banyak institusi pendidikan yang membuka jurusan bidang studi baru. Bahkan ada salah satu institusi yang mengembangkan sistem mayor dan minor, yakni kurikulum bidang studi utama ditambah dengan kurikulum bidang studi pilihan. Ini dinilai sangat membantu agar lulusan lebih fleksibel dan mampu bersaing.

Pemerintah, kata Heri, seharusnya dapat mengembangkan institusi pendidikan yang adaptif dan fleksibel terhadap perkembangan zaman. Tidak hanya untuk pendidikan tinggi, pemerintah juga harus meningkatkan (upgrade) keahlian tenaga kerja lulusan SD dan SMP.

Para pekerja tersebut umumnya hanya memiliki satu keahlian karena tidak cukup berpendidikan. Hal ini dapat berakibat buruk jika pekerjaan mereka diganti oleh mesin.

Dalam hal ini pemerintah daerah harus mengoptimalkan Balai Latihan Kerja (BLK) dan lembaga-lembaga kursus untuk meningkatkan skill mereka. Sarana dan prasarana BLK juga harus ditingkatkan, tidak hanya setiap 5 tahun sekali. Hal ini untuk menyesuaikan dengan industri dan perusahaan yang setiap tahun ada peningkatan sarana dan prasarana.

"Jadi perlu revitalisasi BLK, juga pemda perlu bermitra dengan lembaga kursus untuk menyediakan sarana untuk tenaga kerja yang mau diupgrade skill-nya," kata Heri.

Apabila tidak adanya peningkatan keahlian ini, lulusan SD dan SMP akan lebih banyak terserap ke sektor informal. Bahkan menurut Deputi Bidang Ketenagakerjaan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Pungky Sumadi, pengangguran lulusan SD dan SMP turun justru karena banyaknya pekerja yang beralih dari pertanian ke non pertanian, seperti pengemudi transportasi daring.

"Pasar yang mencari dan menemukan pekerja yang cocok. Kami akan fokus menciptakan lapangan kerja secara umum," kata Pungky.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement