Sabtu 26 Oct 2019 07:47 WIB

PR Defisit Neraca Transaksi Berjalan

Defisit transaksi berjalan terburuk pernah terjadi di Indonesia pada 1983.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Nidia Zuraya
Defisit Neraca Transaksi Berjalan
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Defisit Neraca Transaksi Berjalan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jelang berakhirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode pertama, posisi neraca transaksi berjalan pada kuartal II 2019 mencapai 8,4 miliar dolar AS atau 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini membengkak dibanding kuartal I 2019 yang hanya 6,79 miliar dolar AS.

Di periode kedua pemerintahannya yang baru saja dimulai, Jokowi mempunyai pekerjaan rumah (PR) yang besar guna membenahi hal tersebut.

Baca Juga

Tercatat, defisit neraca transaksi berjalan Indonesia mengalami situasi parah pada 2018. Saat itu, defisit mencapai 31,1 miliar dolar AS atau sekitar 2,98 dari PDB yang mencapai 1,04 triliun dolar AS.

Defisit transaksi berjalan Indonesia pada tahun lalu merupakan yang terbesar dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tapi, bila mengukur dari persentase terhadap PDB maka defisit transaksi berjalan terburuk pernah terjadi pada 1983.

Saat itu, defisit mencapai 6,34 miliar dolar AS atau 7,8 persen dari PDB yang berada di angka 81,05 miliar dolar AS. Surplus neraca transaksi berjalan pernah terjadi pada kurun 1998-2011.

Bank Indonesia (BI) memprediksi neraca transaksi berjalan 2019 tetap defisit di kisaran 2,5-3 persen dari PDB lantaran lesunya ekspor. Walau begitu, BI optimistis Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sepanjang 2019 akan menjadi surplus dibanding 2018 yang defisit 7,1 miliar dolar AS.

Surplus karena adanya aliran modal asing yang mendukung neraca modal dan finansial. NPI terdiri dari transaksi berjalan, transaksi modal dan finansial. Surplus neraca modal diklaim BI dapat menutup defisit dari transaksi berjalan sehingga NPI tetap surplus.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto memandang kalau saat ini defisit neraca transaksi berjalan masih relatif terkendali. Sebab dari data yang ada, Indonesia sudah biasa mengalami defisit.

Yang patut dipertimbangkan, kata dia, ialah defisit neraca transaksi berjalan kadang tak menimbulkan gejolak saat kondisi dunia internasional sedang stabil. "Namun jika berkomplikasi dengan ketidakpastian yang naik seperti perang dagang, harga minyak, geopolitik maka bisa membuat ekoonomi rentan," katanya pada Republika.co.id, baru-baru ini.

Gagal mengendalikan

photo
Ekspor (ilustrasi)

Ia menilai upaya pemerintahan Jokowi jilid I gagal mengendalikan neraca transaksi berjalan. Sehingga defisit pun kembali terjadi, bahkan melebar pada kuartal II 2019.

Diantara strategi pemerintah yang dimaksudnya ialah ekspor sumber daya alam, jasa dan manufaktur. Kemudian peningkatan devisa dari sektor jasa dengan menggenjot pariwisata.

Ia menyarankan pemerintah untuk membuka pasar ekspor seluas-luasnya. Kemudian pemerintah juga diminta meningkatkan produk dalam negeri sebagai subsitusi produk impor.

Aturan soal Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) juga perlu diperbaiki sehingga penggunaan produk dalam negeri bisa meningkat, seperti pada proyek infrastruktur. "Dengan solusi-solusi tersebut, pemerintah perluu tegas dalam implementasi agar benar-benar terasa pengaruhnya. Dan juga pemerintah perlu menekan impor konsumsi," ujarnya.

Salah satu upaya pemerintah dalam mendongkrak ekspor ialah pembukaan pangsa pasar baru di luar negeri. Khususnya pada non traditional partner seperti negara-negara Afrika dan Amerika Latin.

Namun menurut Eko, upaya ini belum mampu menunjukan hasil signifikan. Ia menganggap pemerintah belum proaktif dan serius menggarap pangsa pasar tersebut.

Ia menuding pemerintah justru gagal memanfaatkan perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS). Perang dagang, diakuinya menjadi tantangan yang dihadapi semua negara. Tapi masih ada sejumlah negara yang mampu menumbuhkan ekonomi di tengah himpitan perang dagang.

"Padahal Indonesia bisa memanfaatkan celah perang dagang. Pasar baru juga banyak yang belum signifikan hasilnya. Harusnya bisa mengisi produk China yang dinaikan tarifnya di AS dan mengisi produk AS yang dikenakan tarif tambahan oleh China (contohnya CPO)," ungkapnya.

Perintah langsung Jokowi

photo
Ekspor Impor (ilustrasi)

Sementara itu, Menteri Koordinator Perekonomian yang baru dilantik Airlangga Hartanto menyebut sejumlah programnya dalam mengurangi defisit transaksi berjalan. Airlangga menyatakan komitmen mengatasi defisit transaksi berjalan merupakan perintah langsung Presiden Jokowi.

Pertama dengan program subsitusi impor lantaran sektor migas masih mengalami defisit. Kemudian, restrukturisasi piutang terhadap PT Trans Pasific Petrochemical Indonesia (TPPI). Dengan restrukturisasi maka bisa mengurangi impor petrokimia yang bahan bakunya berasal dari sektor migas.

"Harus dibuat progam untuk mengurangi transaksi berjalan agar tidak defisit. Kemudian ada beberapa program di sektor riil agar neraca perdagangan bisa diperbaiki," kata Airlangga.

Solusi ketiga yang Airlangga tawarkan ialah penggunaan biodiesel B30 (30 persen minyak sawit dan sisanya minyak diesel) pada 2020. Ia bakal mendorong penggunaan B30 sampai B100 dengan mengundang investor pada program tersebut.

"Ada beberapa industri yang akan investasi. Ada fasilitas yang dimiliki Pertamina bisa dikonversi tapi seluruh opsi tetap akan dipelajari," jelasnya.

Keempat, Airlangga bakal menuntaskan berbagai hambatan investasi seperti dijanjikan oleh Jokowi. Selama ini, tumpang tindih aturan pemerintah memang kerap menyulitkan investor menanamkan modalnya di tanah air. Problematika ini sudah jadi concern Jokowi sejak periode pertama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement