Senin 21 Oct 2019 16:34 WIB

KKP: Konektivitas Infrastruktur Perikanan Masih Lemah

Wilayah perikanan potensial berada di daerah Timur yang akses infrastrukturnya terbat

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Pekerja menyelesaikan pembuatan keramba jaring apung untuk budidaya ikan air tawar di Waduk Kedung Ombo desa Ngasinan, Sumberlawang, Sragen, Jawa Tengah, Senin (5/8/2019).
Foto: Antara/Mohammad Ayudha
Pekerja menyelesaikan pembuatan keramba jaring apung untuk budidaya ikan air tawar di Waduk Kedung Ombo desa Ngasinan, Sumberlawang, Sragen, Jawa Tengah, Senin (5/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan, konektivitas wilayah perikanan di Indonesia masih lemah. Hal itu sedikit banyak berkontribusi terhadap capaian investasi ruang laut dan budidaya ikan di sejumlah wilayah.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto mengatakan, konektivitas dari sisi infrastruktur maupun harmonisasi daerah di sejumlah wilayah belum mampu mendongkrak capaian investasi perikanan. Padahal, wilayah-wilayah perikanan potensial berada di daerah Indonesia bagian Timur yang mana akses infrastrukturnya masih terbatas.

Baca Juga

“Kalau kita lihat kan memang laut dan perikanan di wilayah timur itu potensial, hanya belum terkoneksi secara optimal,” kata Slamet kepada Republika.co.id, Senin (21/10).

Adapun KKP saat ini diketahui tengah mencanangkan pengembangan pusat perikanan dan kelautan terpadu di wilayah perbatasan terluar yang terdiri dari 12 lokasi strategis Indonesia. Ke-12 wilayah tersebut antara lain Natuna, Saumlaki, Merauke, Mentawai, Nunukan, Talaud, Morotai, Biak Numfor, Mimika, Rote Ndao, Sumba Timur, dan Sabang.

Dia menjelaskan, guna mendukung capaian investasi kelautan dan perikanan di daerah, pemerintah fokus terhadap kebijakan dan regulasi investasi kepada seluruh negara-negara global. Sedangkan untuk 12 lokasi strategis tadi, dia menyebut pemerintah telah mengundang Norwegia untuk melakukan eksplorasi dalam pengembangannya.

“Kita dan Norwegia sudah kerja sama cukup lama, Norwegia juga memberikan bantuan hibah sebesar Rp 6 miliar untuk beberapa kegiatan pengembangan,” kata Slamet.

Adapun kegiatan tersebut antara lain bergerak di bidang genetik, desease, caring capacity, dan pembuatan Standar Operational Procedure untuk marikultur. Salah satu program kerja sama yang dilakukan adalah dengan membentuk Recirculating Aquaculture System (RAS), di Yogjakarta, Jawa Tengah. RAS dijalankan dengan skema business to business.

Dia menjabarkan, konsorsium perusahaan Indonesia yang dipimpin PT El Rose Brothers menggandeng perusahaan asal Norwegia, Sterner AS, untuk mengembangkan RAS. Kerja sama pengembangan itu meliputi budidaya ikan terpadu dengan kapasitas produksi tahap pertama sebesar 2.500 ton per tahun untuk produk ikan kakap putih.

“Target investasinya Rp 50 miliar,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement