REPUBLIKA.CO.ID, 2019, BANDUNG -- Tahun 2019 ini merupakan periode yang sulit bagi pengembang perumahan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Termasuk, bagi pengembang di Jabar. Salah satu penyebabnya adalah keterbatasan anggaran subsidi MBR tahun ini.
Selain itu, Menurut Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Himpunan Pengembang Pemukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra), Endang Kawidjaja, tahun ini juga tidak ada mekanisme Anggaran Pendapapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) karena adanya agenda Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
"Ini membuat kami kehabisan bahan bakar untuk menyediakan rumah bersubsidi bagi MBR," ujar Endang pada Musyawarah Daerah (Musda) I dan pelantikan DPD Himperra Jawa Barat (Jabar) di Garden Permata Hotel, Lemahneundeut, Bandung, Rabu (16/10).
Tahun ini, kata dia, kuota anggaran subsidi rumah bagi MBR melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) hanya dialokasikan untuk membangun 168 ribu unit. Sementara pada 2018 kuotanya mencapai 256 ribu unit.
Angka itu, belum termasuk subsidi melalui skema Subsidi Suku Bunga (SSB) dan Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT). Jika dijumlahkan, kuota pada 2018 bisa mencapai lebih dari 283 ribu unit.
"Kuota rumah bersubsidi melalui skema FLPP tahun ini sudah habis pada September," katanya.
Menurutnya, kalaupun ditambah dengan bantuan subsidi rumah melalui skema BP2BT, kuota rumah bersubsidi tahun ini tetap lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Tahun ini kuota BP2BT dialokasikan sebesar 14.000 unit.
Beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo baru saja menyetujui usulan penambahan anggaran untuk subsidi rumah MBR melalui skema FLPP sebesar Rp 2 triliun. Anggaran tambahan tersebut diproyeksikan untuk membangun 20.000-30 ribu unit rumah subsidi.
Namun, kata Endang, hingga saat ini belum ada kepastian kapan anggaran tambahan tersebut akan digulirkan. "Setiap hari kami tanyakan. Jawaban sedang dalam proses," ujarnya.
Sambil menunggu digulirkannya FLPP, Endang mengimbau agar anggota Himperra fokus pada rumah bersubsidi dengan skema BP2BT. Apalagi, pemerintah saat ini sudah menggulirkan beragam kemudahan untuk mengakses BP2BT.
Selama ini, kata dia, ada tiga hambatan untuk progtam BP2BT, yaitu Sertifikat Laik Fungsi (SLF), dihapuskannya bantuan uang muka, dan persyaratan minimal masa tabungan. Untuk SLF, persoalannya adalah tidak semua pemerintah daerah bisa mengeluarkan SLF. "Saat ini semua dipermudah," katanya.
Saat ini, SLF dikembalikan lagi seperti FLPP. Uang muka juga diturunkan menjadi 1 persen. Sementara persyaratan minimum tabungan diturunkan dari 6 bulan menjadi 3 bulan.
Himperra, kata dia, mendorong semua anggota intuk memaksimalkan kuota rumah subsidi dengan skema BP2BP. Nanti setelah tambahan FLPP direalisasikan, anggota tinggal melakukan migrasi. "Akan lebih mudah mengkonversikan bisnisnya. Ini hanya soal strategi," kata Endang.
Sementara Ketua DPD Himperra Jabar, Jajang Suteja mengatakan, tahun ini Jabar diproyeksikan bisa menyalurkan sekitar 15.000 kuota MBR. "Dari jumlah tersebut, yang tersisa hingga akhir tahun tinggal sekitar 1.000 unit," katanya.