Selasa 15 Oct 2019 15:40 WIB

Neraca Dagang Indonesia Sedang Tidak Sehat

Apabila diiarkan terus-menerus, defisit neraca dagang terus melebar.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Aktivitas bongkar muat ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (20/10).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Aktivitas bongkar muat ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (20/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, neraca dagang Indonesia sedang berada dalam kondisi tidak sehat. Apabila dibiarkan terus menerus, defisit neraca dagang dan defisit transaksi berjalan (CAD) akan terus melebar sampai akhir tahun. 

Bhima mengatakan, kinerja ekspor melambat sebagai dampak dari perlambatan ekonomi global. Kondisi serupa juga terjadi pada impor, khususnya pada bahan baku/penolong yang menjadi kebutuhan industri dalam negeri. 

"Tren ini menggambarkan kondisi yang tidak sehat," tuturnya ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (15/10). 

Bhima mengatakan, saat ini, terjadi pergeseran di mana pelaku industri mulai mengurangi kapasitas produksi. Mereka mengantisipasi pelemahan konsumsi domestik dan pasar ekspor utama. Dampaknya, permintaan industri terhadap bahan baku/ penolong dari luar negeri pun menurun. 

Sementara itu, konsumen beralih ke produk impor dengan asumsi harga produk impor lebih terjangkau dibandingkan produk dalam negeri. "Ini bentuk shifting konsumsi ke produk yang lebih pas di saat tekanan daya beli," ujar Bhima. 

Bhima menekankan, pemerintah harus segera memperbaiki kondisi ini. Apabila tidak diantisipasi segera, kebutuhan valuta asing sampai akhir tahun terancam terus naik. Rupiah pun beresiko melemah lagi. 

Salah satu poin yang harus diperbaiki pemerintah adalah koordinasi. Bhima menilai, banyak kebijakan yang masih belum terkoordinasikan dengan baik di level kementerian/ lembaga. Kondisi ini terlihat dari kasus banjirnya impor produk tekstil dan tekstil beberapa waktu lalu, termasuk melalui Pusat Logistik Berikat (PLB). 

Bhima menjelaskan, pengawasan di PLB terbilang ‘kedodoran’. Meski Pajak Penghasilan (PPh) impor naik, ‘keran’ impor yang bocor tersebut membuat kebijakan pemerintah pada tahun lalu untuk membatasi impor konsumsi menjadi tidak signifikan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia. 

Di sisi lain, Bhima menambahkan, pemerintah masih sulit melakukan pengawasan di niaga daring (e-commerce) yang kini semakin mendominasi. "Jadi, jangan salahkan konsumen kalau akhirnya memilih produk impor," katanya. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca dagang Indonesia pada September mengalami defisit 160,5 juta dolar AS. Dengan begitu, secara akumulasi periode Januari sampai September 2019, nilai defisit mencapai 1,95 miliar dolar AS.

Sepanjang sembilan bulan ini, nilai ekspor Indonesia adalah 124,17 miliar dolar AS. Rinciannya, ekspor migas 9,4 miliar dolar AS, sementara nonmigas mencapai 114,7 miliar dolar AS. 

Nilai impor lebih besar, yakni 126,1 miliar dolar AS. Sementara impor migas 15,86 miliar dolar AS, sisanya (110,2 miliar dolar AS) berasal dari impor nonmigas. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement