REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Eksekutif Pokja Equity Crowdfunding (ECF) di Asosiasi Financial Technology Indonesia (Aftech) Edward Chamdani menilai, potensi layanan urun dana melalui penawaran saham berbasis teknologi informasi semakin besar di Indonesia. Tepatnya sejak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis Peraturan OJK (POJK) Nomor 37 Tahun 2018 Tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi (Equity Crowdfunding/ ECF).
Potensi tersebut mengingat masih banyak perusahaan rintisan (startup) dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang belum mampu menarik pendanaan dari institusi pendanaan seperti perbankan dan lainnya. Di sisi lain, belum ada instrumen investasi yang secara umum. "Rata-rata, calon investor harus masuk ke kategori angel investor," ujar Edward saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (13/10).
Angel Investor merupakan seseorang atau sekelompok orang yang berani mengambil risiko finansial dengan cara mendanai bisnis baru dengan potensi pertumbuhan tinggi, namun masih dalam tahap awal. Biasanya, mereka harus secara proaktif mencari startup ataupun UMKM sendiri dengan menghadiri begitu banyak event agar dapat bertemu pelaku usaha yang layak mendapatkan investasi.
Edward mengatakan, angel investor diisi oleh sophisticated investor dari asing dan lokal yang jumlahnya terbatas. Padahal, animo non-sophisticated investor seperti high-networth individual yang menjadi nasabah prioritas, para trader saham/ bursa dan retail investor tidak dapat dilupakan begitu saja.
ECF datang sebagai salah satu solusi mengatasi kondisi itu. Edward menjelaskan, ECF menjadi marketplace dalam mempertemukan para startup dan UMKM dengan pendana potensial secara cepat dan mudah.
Alur investasinya pun jelas seiring dengan POJK 37. "Peraturan ini menjadi koridor bagi platform agar aturan bagi calon issuer dan pendana memiliki proteksi dari sisi manajemen resiko berikut mitigasinya secara lebih baik," kata Edward.
Potensi ECF semakin besar dengan bantuan dari beberapa institusi yang sudah lama aktif di bursa. Di antaranya PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan bank kustodian. Menurut Edward, dua lembaga ini akan membantu mengatur instrumen pendukung seperti pencatatan saham, peraturan jual beli hingga frekuensi jual-beli saham sekunder.
Melalui ECF dan kerja sama dengan KSEI ataupun bank kustodian, Edward menilai, kepastian dari sisi penerbit akan lebih teratur dan transparan. "Ini dapat menjadi potensi untuk terciptanya produk turunan lain seperti yang sudah terjadi di bursa," katanya.
Di tengah potensi perkembangan ECF, Edward mengakui, faktor risiko akan tetap ada. Hanya saja, ia meyakini, OJK sudah melakukan screening dari setiap platform ECF mengenai pengalaman dan Standard of Procedure (SOP) mereka. Khususnya dalam memilih calon issuer dan due dilligence atau kinerja perusahaan.