REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Rencana pemerintah melarang peredaran minyak goreng curah di pasaran mulai Januari 2020 ditanggapi beragam oleh para pedagang. Ada yang setuju. Tak sedikit yang menolak karena minyak goreng kemasan lebih mahal.
Berdasarkan pantauan Republika di Pasar Induk Cikurubuk, Kota Tasikmalaya, banyak kios yang menyediakan minyak goreng curah. Minyak tanpa merek itu rata-rata dijual dengan harga Rp 10 ribu per kilogram. Salah satu pedagang di pasar itu, Ardin Maulana (20 tahun), mengatakan, pembeli minyak goreng curah lebih banyak dibandingkan dengan pembeli minyak goreng kemasan bermerek.
Kata Ardin, minyak curah lebih laris karena harganya lebih murah. "(Sebanyak) 60 persen konsumen yang membeli ke sini belinya minyak goreng curah," kata dia, Senin (7/10). Dalam sehari, kios miliknya menjual minyak curah hingga 10 kilogram. Minyak goreng curah tak hanya dibeli pedagang kecil, tapi juga ibu rumah tangga.
Ardin mengaku tak keberatan dengan rencana pemerintah mewajibkan seluruh minyak goreng dijual dalam bentuk kemasan. Namun, dia harap harga jualnya tak naik jauh. "Kalau harga naik mah jangan. Otomatis pelanggan hilang," kata dia.
Ia menyebutkan, harga minyak goreng curah biasa dijual Rp 10 ribu per kg. Sementara, harga minyak goreng kemasan berkisar antara Rp 12 ribu-15 ribu per liter.
Pedagang lainnya, Eti (36), tak setuju dengan rencana menghilangkan minyak curah dari pasar. Pasalnya, banyak konsumennya yang lebih memilih minyak curah daripada minyak kemasan. Harga yang lebih murah menjadi alasan utama minyak curah lebih laku. Konsumennya pun rata-rata membeli minyak untuk menjalankan usaha kecil. "Kalau beli minyak goreng kemasan kan lumayan, bedanya sampai Rp 2.000," kata dia.
Seorang pedagang gorengan, Martini (47), berpendapat lain. Ia mengaku setuju dengan rencana pemerintah menghilangkan minyak curah dari pasaran. Menurut dia, kualitas makanan yang digoreng dengan minyak curah kurang bagus. "Bagusan minyak kemasan," ujar dia.
Untuk memasak barang dagangannya, Martini memang belum sepenuhnya menggunakan minyak kemasan. Kadang ia menyeling minyak curah dan kemasan. Ia menjelaskan, memasak dengan minyak curah juga lebih boros. Ia bisa menghabiskan lebih dari 2 kilogram minyak goreng curah dalam sehari, sedangkan dengan minyak kemasan tak lebih dari 2 liter per hari.
Namun, ia tak bisa menjanjikan harga dagangannya akan tetap sama jika minyak curah hilang dari pasar. "Kalau harga gorengan, tergantung harga barang pokoknya juga,\" kata dia.
Para pedagang kaki lima (PKL) di Jakarta berharap pemerintah dapat memastikan harga minyak goreng kemasan terjangkau jika pelarangan minyak goreng curah direalisasikan. Salah satu penjual tahu goreng di Lapangan Tembak, Senayan, Jakarta, Awi (42), mengeluhkan harga minyak goreng kemasan yang relatif lebih tinggi daripada yang curah. Namun, ia mengakui, kualitas produk minyak goreng kemasan jauh lebih baik. “Maunya sih saya pakai (minyak goreng) kemasan, tapi mahal,” kata Awi, kemarin.
Ia menjelaskan, harga minyak goreng curah yang dibeli di warung kelontong di dekat kediamannya, di Cibubur, Jakarta, seharga Rp 8.700 per liter. Sepanjang pengalamannya menjual tahu Sumedang, Awi mengaku hanya sesekali menggunakan minyak goreng kemasan. “Kalau saya lihat ada promo di //minimarket//, barulah saya beli (minyak goreng kemasan),” ujarnya.
Berbeda dari Awi, PKL pecel lele, Isna Amaliah (33 tahun), justru mengaku tak pernah menggunakan minyak goreng curah untuk memproduksi makanan yang dijualnya. Ia bahkan mengaku tak tahu harga minyak goreng curah per liter yang ada saat ini. “Tahunya yang kemasan, dua liter harganya Rp 22 ribu,” ujar Isna.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta pemerintah menyediakan minyak goreng kemasan dengan harga terjangkau bila keberadaan minyak goreng curah akan dilarang pada tahun depan. Sebab, minyak adalah salah satu kebutuhan pokok yang krusial bagi konsumen.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menyampaikan, dari sisi perlindungan konsumen dan aspek keamanan pangan, kebijakan tersebut relatif bisa dimengerti. Sebab, secara fisik, minyak goreng dalam kemasan dinilai lebih aman sehingga berpotensi kecil terkontaminasi zat atau benda lain yang tidak layak konsumsi. Namun, dia meminta pemerintah menyiapkan harga yang terjangkau. "Harga minyak goreng dalam kemasan kita minta bisa tetap terjangkau," kata Tulus.
Keterjangkauan harga itu dinilai penting karena selain untuk kebutuhan konsumsi domestik rumah tangga, minyak goreng kemasan juga diperlukan pelaku bisnis di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pemerintah mesti menjaga harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan sebesar Rp 11 ribu per liter.
Selain konsistensi, pemerintah juga ditekankan untuk memberikan sanksi tegas terhadap pelaku usaha yang melanggarnya. Selama ini, kata dia, masih banyak komoditas yang telah memiliki HET, seperti gula, dijual melewati HET yang ditentukan dan tak ada sanksi kepada para pedagang maupun oknum yang menjual di atas HET tersebut.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, Kemendag akan mulai memasifkan peredaran minyak goreng kemasan sampai ke pelosok-pelosok sebagai persiapan sebelum mengimplementasikan pelarangan peredaran minyak goreng curah.
Enggar mengatakan, larangan tersebut sebetulnya sudah disampaikan bertahun-tahun lalu karena mempertimbangkan efek terhadap kesehatan akibat pemakaian minyak goreng curah. Namun, Enggar tidak menjelaskan efek kesehatan minyak goreng curah itu berdampak apa.
"Minyak goreng curah sebenarnya daur ulang minyak bekas yang dari sisi kesehatan tidak terjamin, dari segi halal apalagi, dan itu tidak bisa kita diamkan," kata Enggar di Hotel Tentrem, Yogyakarta, Senin.
Semula, kata Enggar, ada kekhawatiran soal harga karena minyak goreng curah dirasa lebih murah daripada minyak kemasan sederhana. Oleh karena itu, Kemendag terus bernegosiasi dengan pengusaha-pengusaha minyak.
Namun, Enggar menekankan fakta lapangan yang mereka temukan. Harga minyak curah ternyata sering lebih mahal daripada minyak kemasan. Artinya, lanjut Enggar, selain tidak higienis dan tidak jelas kehalalannya, minyak curah ternyata juga tidak lebih murah.
"Sekarang kita harus sediakan, dan persiapan ancang-ancang sudah cukup lama. Jadi, kita semua sepakat, produsen sepakat, tidak lagi akan menyuplai minyak goreng curah," ujar Enggar.