Sabtu 28 Sep 2019 00:15 WIB

Pemerintah Perlu Regulasi Sebelum Tindak Bisnis Jastip

Pengawasan terhadap bisnis jastip memerlukan upaya lebih keras.

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Ani Nursalikah
Fenomena bisnis jasa titip (jastip).
Foto: Tim Infografis Republika.co.id
Fenomena bisnis jasa titip (jastip).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai bisnis jasa titipan (jastip) barang impor yang tengah marak merupakan dampak dari kemajuan perkembangan teknologi. Pelaku jastip memanfaatkan jasa dari orang-orang yang sedang bepergian ke luar negeri.

"Sepanjang barang nggak melebihi 500 dolar AS, nggak ada masalah dan diperbolehkan," ujar Yustinus saat dihubungi Republika.co.id di Jakarta, Jumat (27/9).

Baca Juga

Yustinus mengatakan model pelaku usaha jastip yang memecah barang pesanan kepada beberapa orang atau splitting yang dikeluhkan pengusaha merupakan bentuk dari pelaku jastip memanfaatkan celah dalam regulasi. "Kalau tidak diatur secara eksplisit, berarti ada celah aturan yang bisa dimanfaatkan, tinggal ditutup celahnya," ucapnya.

Meski begitu, dia menilai, model splitting masih berada di area abu-abu lantaran bisa saja satu rombongan memang secara sengaja memecah barang bawaan. Namun, dia katakan, fenomena jastip juga sudah merambah pada ranah bisnis lantaran si penitip dan yang dititipkan tidak saling kenal.

"Seperti fenomena awal-awal ekonomi digital, prinsip hukum kalau belum dilarang kan boleh. Sekarang legal atau tidak legal (jastip) pemerintah harus mengaturnya," lanjutnya.

Yustinus menilai pengawasan terhadap bisnis jastip memerlukan upaya lebih keras. Yustinus mengatakan pemerintah bertugas menciptakan iklim dunia usaha yang sehat. Oleh karenanya, perlu adanya regulasi khusus yang mengatur jastip jika memang ingin melakukan penindakan.

"Tapi jangan sampai mematikan hak konsumen mendapat barang murah, apalagi nggak ada barang substitusi di Indonesia, misalnya kalau ada monopoli dan mahal juga nggak bagus," kata Yustinus.

Hal serupa dikatakan Pengamat Perpajakan dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Roni Bako. Roni berpandangan bisnis jastip sah-sah saja selama tidak melebihi batas nominal barang bawaan sebesar 500 dolar AS atau sekitar Rp 7 juta. Angka tersebut merupakan barang-barang yang memang hanya dikonsumsi pribadi, bukan untuk dijual.

Roni menilai bisnis jastip belum diatur dalam regulasi. Dia meminta pemerintah mengeluarkan regulasi terlebih dahulu sebelum melakukan penindakan.

"Belum ada regulasi yang mengatur jastip. Kalau mau, pemerintah buat regulasi. Kalau belum ada regulasi, nggak boleh komplain. Menteri Keuangan bisa buat regulasi agar adil bagi pelaku usaha, pelaku jastip, dan negara," kata Roni.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement