Jumat 27 Sep 2019 05:47 WIB

Pemda Siap Atur APBD untuk Beri Sertifikat Halal Gratis UMKM

Kewajiban sertifikasi halal berlaku mulai 17 Oktober 2019.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nidia Zuraya
Sejumlah pelaku Industri Kecil Menengah (IKM) menunjukan sertifikat halal di Kantor Walikota Depok, Jawa Barat, Kamis (31/1/19).
Foto: Antara/Kahfie Kamaru
Sejumlah pelaku Industri Kecil Menengah (IKM) menunjukan sertifikat halal di Kantor Walikota Depok, Jawa Barat, Kamis (31/1/19).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam menyambut penerapan kewajiban sertifikasi halal produk barang dan jasa, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) siap mengatur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) guna memfasilitasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Bentuk fasilitasinya berupa sertifikasi halal gratis.

Sekretaris Jenderal Apkasi Najmul Akhyar menyampaikan, sebelum Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) Nomor 33 Tahun 2014 diterapkan, sejumlah pemerintah daerah (pemda) telah melakukan fasilitasi sertifikat halal gratis pada UMKM. Namun begitu dengan semakin mendekatnya waktu pelaksanaan kewajiban aturan tersebut, pihaknya bakal berkoordinasi lebih jauh agar setiap daerah mampu menganggarkan biaya untuk mensertifikasi gratis dalam APBD.

Baca Juga

“Beberapa daerah, seperti di Lombok Barat sudah kami fasilitasi. Tapi memang, kalau perlu (seluruh daerah) kami anggarkan sertifikat gratis untuk halal itu di APBD,” kata Najmul yang juga menjabar sebagai Bupati Lombok Utara saat dihubungi Republika, Kamis (26/9).

Dia mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi lebih jauh dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk menindaklanjuti hal tersebut. Hanya saja dia memberi masukan, sejatinya kewajiban produk halal tak hanya terfokus pada beban biaya yang dikenakan.

Berdasarkan pengalamannya, proses sertifikasi halal biasanya rumit dan berbelit di samping biaya sertifikasi yang mahal. Padahal, produk UMKM umumnya halal meski secara legalitas belum dapat diakui.

Untuk itu dia meminta kepada pemerintah melalui BPJPH agar mengatur skema sertifikasi yang memudahkan pelaku UMKM. “Apalagi beberapa daerah juga sedang gencar branding wilayahnya jadi pariwisata halal,” kata dia.

Sehingga diharapkan, kata dia, sertifikasi halal nantinya justru tak memberatkan pelaku UMKM dan malah mampu mendongkrak pertumbuhan bisnis di sektor tersebut. Terkait dengan penerapan UU JPH yang ada, pihaknya mengaku telah melakukan sosialisasi dengan memberikan pembinaan dan juga koordinasi di tingkat lembaga dan masing-masing daerah.

“Ini karena kami belum bertemu langsung dengan BPJPH, kami belum tahu pola yang ingin diterapkan,” ujarnya.

Dia berharap meskipun rencana penganggaran biaya sertifikasi halal dapat dimasukkan ke APBD, pihaknya juga meminta kepada BPJPH agar mau membantu hal serupa sehingga terjadi upaya saling bahu-membahu untuk memberikan fasilitasi sertifikat halal gratis bagi UMKM.

Seperti diketahui, penerapan kewajiban sertifikasi halal bakal berlaku mulai 17 Oktober 2019 yang dimulai secara bertahap. Pada tahap awal, pelaku usaha makanan dan minuman (mamin) diwajibkan mensertifikasi tiap produknya dalam jangka waktu lima tahun.

Berdasarkan catatan Asosiasi Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi), dari 2,6 juta pelaku UMKM yang ada, terdapat 1,6 juta pelaku UMKM sektor mamin.

Jumlah tersebut berdasarkan catatan yang terdata. Artinya, masih ada kemungkinan jumlah UMKM yang belum terdata itu cukup besar mengingat pedagang kaki lima (PKL) mamin juga masuk dalam kategori UMKM.

Ketua Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun menyayangkan, UU JPH berbentuk mandatori dan bukan suatu hal yang opsional. Sebab menurut dia, saat ini sertifikasi halal merupakan suatu hal yang berat bagi pelaku UMKM sebab belum ada kejelasan skema produk yang dimaksud.

“Misalnya ya, ini kan yang disertifikasi itu produk, bukan merek. Nah, karena ini per produk kita ambil contoh misalnya warteg, ini yang mau disertifikasi menunya satu-satu atau rumah makannya? Skema-skema inilah yang belum jelas,” kata dia.

Di sisi lain dia menilai, umumnya UMKM kerap mengeluhkan biaya sertifikasi yang mahal. Biaya sertifikasi halal, kata dia, kerap berada di kisaran Rp 10 juta-Rp 11 juta di luar biaya proses sertifikasinya. Dengan nominal tersebut, pihaknya khawatir UMKM rentan terimbas dengan adanya kewajiban sertifikasi halal itu.

Belum lagi, dia melanjutkan, tentang sanksi hukum yang mengikuti. Menurut dia harusnya pemerintah melakukan transparansi, dia khawatir diterbitkannya UU JPH merupakan titipan oknum tertentu yang kerap bermain di ranah sertifikasi.

Sejauh pengalamannya, meski terdapat beberapa pemda yang mengklaim telah memfasilitasi sertifikasi halal gratis ke UMKM, hal itu pada hakikatnya tak 100 persen gratus. “Masih ada yang kena biaya Rp 2 juta-Rp 2,5 juta sekali sertifikasi,” ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement