REPUBLIKA.CO.ID, QINGDAO -- Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) yang juga guru besar perikanan dan ilmu kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Rokhmin Dahuri menjadi keynote speaker dalam acara International Forum on Aquaculture in Silk Road Countries atau Forum Internasional tentang Akuakultur untuk Negara-negara Jalur Sutera yang diinisiasi oleh Yellow Sea Fisheries Research Institute of CAFS (YSFRI) di Qingdao, China, Kamis-Jumat (26/9-27/9).
Dalam kesempatan tersebut, mantan menteri kelautan dan perikanan di era Kabinet Gotong Royong itu membawakan pidato kunci berjudul “Sustainable Aquaculture Development Industry 4.0 and Global Climate Change Era”.
Acara tersebut dihadiri sekitar 500 ilmuwan, akademisi, peneliti, pengusaha industri, banker, dan mahasiswa dari 15 negara dan lima benua.
Selain Prof Rokhmin Dahuri yang mewakili Indonesia, narasumber lain yang hadir dalam forum tersebut antara lain: Dr Mathias Halwart (FAO), Dr Huang Jie (Director General of NACA), Dr Gu Weibing (Director General of Fisheries and Aquaculture, Ministry if Agriculture and Rural Affairs, China), Dr Algarah Esam (UNIDO), Dr Marc C Verdegem (Wageningen University, Holland), Dr Qin Jianguang (Flinders University, Australia), Dr Najiah Musa (University Malaysia Terengganu), dan Dr Henry Q Canlas (Beureau of Fisheries and Aquatic Resources, Philippines).
Dalam paparanya, Prof Rokhmin mempresentasikan konsep pembangunan berkelanjutan sektor perikanan budidaya dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 dan ancaman perubahan iklim global.
“Kemajuan ilmu dan teknologi yang terejawantahkan dalam revolusi industri 4.0 telah membuat ekonomi dunia semakin produktif dan efisien. Namun pada sisi lain menimbulkan permasalahan sosial-ekonomi, lingkungan, dan sosial-budaya yang sangat kompleks dan serius,” kata Rokhmin dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Kamis (26/9).
Suasana International Forum on Aquaculture in Silk Road Countries di Qingdao, China, Kamis (26/9).
Di bidang ekonomi, lanjut dosen kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu sampai sekarang masih sekitar satu miliar warga dunia hidup dalam kemiskinan absolut (ekstrem poverty) dengan pengeluaran kurang dari 1,25 dolar AS per hari. Kemudian, masih terdapat hampir tiga miliar orang masih hidup miskin denga pengeluaran kurang dari 2 dolar AS per hari.
“Sementara di bidang lingkungan, pencemaran, pengikisan biodiversity dan kepunahan spesies, perusakan fisik ekosistem alam, dan pemanasan global telah mencapai tingkat yang mengancam kelestarian bumi dan kehidupan manusia,” ungkapnya.
Atas dasar problematika tersebut, menurut Rokhmin pembangunan harus berorintasi pada dua hal penting yaitu pertama agenda untuk meningkatkan daya dukung (carrying capacity) lingkungan bumi dalam menghasilkan sumber pangan, bahan untuk pakaian, bahan farmasi, bahan untuk perumahan dan bangunan lain, bahan tambang dan mineral, serta jasa lingkungan lainnya yang dibutuhkan oleh manusia dan pada sisi lain bagaimana kita meningkatkan ekosistem bumi dalam menetralisir limbah.
Kedua, agenda untuk mengatur supaya konsumsi (penggunaan) manusia terhadap pangan, bahan pakaian, farmasi, bahan bangunan, bahan tambang dan mineral, dan barang lainnya tidak berlebihan, secukupnya saja. Selain itu, kegiatan pembangunan, industri, dan aktivitas manusia lainnya juga tidak boleh membuang limbah, emisi karbon dan gas rumah kaca lainnya melebihi kapasitas asimilasi (menetralisir) eksosistem alam.
Sementara laju eksploitasi hutan, sumber daya ikan, dan sumber daya alam hayati lainnya tidak boleh melampaui kapasitas pulihnya.
“Pada praktiknya, teknologi era industri 4.0 seperti bioteknologi, nanoteknologi, artificial intelligence, Internet of Things (IoT), big data, cloud computing, dan robotics di banyak negara telah berhasil meningkatkan daya dukung lingkungan,” ujarnya.
Salah satu agenda penting International Forum on Aquaculture in Silk Road Countries adalah Pembentukan Konsorsium Internasional tentang Sains Teknologi Budidaya dan Pengembangan Industri. Konsorsium yang akan dibentuk nanti bertujuan untuk memastikan keamanan pangan global dan pasokan produk-produk air termasuk mempromosikan ketersediaan protein hewani yang berkualitas dan meningkatkan gizi masyarakat, dan untuk meningkatkan teknologi dan manajemen akuakultur dan mendorong kolaborasi pelengkap di antara negara-negara peserta konsorsium.
Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) sendiri, kata ketua DPP PDIP Bidang Kelautan dan Perikanan tersebut, merupakan salah satu anggota pendiri Konsorsium. Selain Indonesia, forum internasional itu juga dihadiri negara-negara anggota konsorsium meliputi Tiongkok, Australia, Belanda, Filipina, Mesir, Thailand, Bangladesh, Malaysia, Brunei Darussalam, Myanmar, dan Tunisia.