REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) meminta kepada pemerintah untuk mengatur skema sertifikasi yang tak memberatkan pelaku usaha, khususnya pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Sertifikasi halal nantinya diharapkan tak menjadi penghalang berkembangnya usaha UMKM.
Wakil Ketua Umum Gapmmi Rachmat Hidayat menyampaikan, pihaknya mengapresiasi pelaksanaan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) Nomor 33 Tahun 2014 pada 17 Oktober mendatang yang bersifat mandatori. Hanya saja, sertifikasi halal ini perlu dipersiapkan secara matang agar pelaku UMKM tak jatuh berguguran akibat tidak berdaya mendapatkan sertifikasi.
“Kami terima kasih sekali dengan pemerintah soal ini, karena undang-undangnya sudah jelas. Tapi harus kita akui, sertifikasi itu biayanya enggak murah. Kami khawatir nanti yang mampu sertifikasi hanya kalangan usaha besar-besar saja, yang kecilnya berguguran,” kata Rachmat, di Jakarta, Rabu (25/9).
Dari 2,6 juta pelaku UMKM, terdapat sekitar 1,6 juta pelaku UMKM yang bergerak di sektor mamin yang terdata. Dari jumlah sebanyak itu, pemerintah dinilai perlu mempersiapkan mekanisme yang akurat guna mensertifikasi hal itu. Seperti diketahui, pemerintah menargetkan dalam lima tahun ke depan, pelaksanaan sertifikasi halal akan dimulai untuk sektor mamin dan akan dilanjutkan secara bertahap ke sektor lainnya.
Menurut dia terkait dengan biaya sertifikasi, terdapat dua macam biaya yang umumnya harus dikeluarkan pelaku usaha. Yakni biaya administratif dan biaya proses sertifikasinya. Dia menyebut, porsi biaya di kategori proses sertifikasi itulah yang membutuhkan biaya besar.
“Sertifikasi standar apapun di dunia ini enggak ada yang murah. Karena UU-nya mewajibkan tanpa kecuali, maka ini harus dijadikan concern oleh pemerintah,” ungkapnya.
Pihaknya mengatakan, harusnya dalam UU JPH yang ada perlu disebutkan bahwa sertifikasi kepada produk barang dan jasa ada opsi pengecualian. Sebab, kata dia, apabila bentuk UU-nya sudah mengikat tanpa ada pengecualian, artinya seluruh pelaku usaha menanggung kewajiban tersebut yang terikat pada resiko hukum.
Di sisi lain, mahalnya biaya sertifikasi menurutnya bakal memicu munculnya sertifikasi-sertifikasi ilegal oleh oknum-oknum tertentu. Bentuknya dapat berupa logo label halal palsu yang diperjual-belikan secara masif. Sehingga untuk itu pemerintah perlu menyikapi sertifikasi ini secara komprehensif.
Ketua Umum Waralaba dan Lisensi Indonesia Levita Supit Ginting mengatakan, pelaksanaan sertifikasi halal yang digagas pemerintah diharapkan tak menghambat iklim usaha. Waralaba, kata Levita, merupakan bisnis yang mengekor dari induk pencipta suatu bisnis yang sudah eksis terlebih dahulu. Untuk itu seluruh sistem dalam waralaba menganut asas standard operational procedure (SOP) yang terbentuk.
Masalahnya, kata dia, berdasarkan pengalaman mensertifikasi sebuah unit waralaba realitanya banyak bahan baku yang belum tersedia di Indonesia namun masuk dalam SOP. Dia mencontohkan, bisnis waralaba diwajibkan menggunakan 80 persen bahan baku lokal dan 20 persennya dari impor.
“Sehingga misalnya satu elemen saja dicoret tak layak sertifikasi, kecap misalnya dalam suatu restoran, nah ini akan mengubah rasa. Sedangkan kecap tersebut tak tersedia di Indonesia, ini bagaimana menentukan kehalalannya? Kalau restoran kan banyak pernik-perniknya, bumbu dan lain-lain,” ungkap dia.
Dia mengibau kepada pemerintah untuk melakukan antisipasi yang matang terkait pelaksanaan sertifikasi halal. Hal itu agar sertifikasi nantinya tak menghambat bisnis dan pelaku usaha secara menyeluruh.
“Waralaba itu besar sekali lho kontribusinya untuk negara, omset kami ada Rp 200 triliun,” pungkasnya.