Rabu 25 Sep 2019 15:12 WIB

Pemerintah Diminta Dirikan Industri Kecil Pengolah Garam

Asosiasi petani garam akan mendirikan industri pengolah garam skala kecil di Sampang.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Petani memanen garam. ilustrasi
Foto: ANTARA FOTO
Petani memanen garam. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI) mendorong pemerintah untuk mendirikan industri pengolah garam skala kecil. Tumbuhnya industri skala kecil setidaknya meminimalisir ketergantungan garam rakyat kepada industri pengolahan skala besar.

Ketua Umum APGRI, Jakfar Sodikin, mengatakan, ide menumbuhkan industri demi garam rakyat memiliki kepastian pasar agar harga tak lagi fluktuatif. Menurut dia, investasi di bidang pengolahan garam tak akan rugi karena pasar sangat terbuka lebar. Keuntungan yang bisa diperoleh juga cukup besar karena menghasilkan garam berkualitas.

Baca Juga

"Adanya sentra pengolahan garam mengurangi ketergantungan ke perusahaan-perusahaan besar.  Kami melihat petambak amat kesulitan menjual garamnya pada tahun lalu dan tahun ini," kata Jakfar kepada Republika.co.id, Rabu (25/9).

Jakfar mengatakan, sembari menunggu langkah pemerintah, pihaknya bakal mendirikan industri pengolahan garam skala kecil dengan kapasitas 40 ton garam per hari di Sampang, Madura. Investasi yang dikeluarkan sekitar Rp 10 miliar. Pasokan garam bakal diserap dari lahan seluas 200 hektare (ha) yang dikelola oleh para kelompok petambak.

Dia meyakini, investasi di sektor pergaraman bakal menguntungkan sekaligus menolong para petambak untuk bisa menjual garamnya.

Kualitas garam yang dihasilkan setelah diolah ditargetkan bisa menghasilkan garam dengan kandungan natrium klorida (NaCl) minimal 97 persen. Garam yang diolah juga sudah mengandung yodium dan kandungan gizi lainnya sesuai kebutuhan pasar. Namun, kata Jakfar, industri pengolahan garam skala kecil lebih baik fokus untuk memenuhi kebutuhan garam konsumsi di luar industri.

"Pasar kita terbuka, asal mau berkompetisi dengan perusahaan pengolahan skala besar pasti bisa. Garam kan tidak ada bedanya," ujar Jakfar.

APGRI mendorong pemerintah untuk juga berinvestasi dalam pendirian pabrik pengolahan garam. Terbentuknya kawasan industri garam akan memudahkan pemasaran garam rakyat langsung ke tangan konsumen. Tentu, kata Jakfar dengan harga yang kompetitif karena tak lagi melalui rantai pasok yang panjang.  "Pemerintah tidak akan rugi untuk ini," tuturnya menambahkan.

Berdasarkan data Kementerian Koordinator Perekonomian, rata-rata produksi garam nasional berkisar 2,7 juta ton. Namun, rata-rata konsumsi garam rumah tangga per tahun sekitar 600 ribu ton dengan asumsi konsumsi per kapita 2,2 kilogram (kg) per tahun.

Sementara, garam yang bisa diserap industri hanya 30 persen dari total produksi atau sekitar 900 ribu ton per tahun. Dari perhitungan itu, garam rakyat yang terserap hanya sekitar 1,5 juta ton. Sisanya, sebanyak 1,3 juta ton terbengkalai karena tidak memiliki pasar.

Sebetulnya rata-rata kebutuhan garam industri per tahun mencapai 2,7 juta ton.  Namun, kebutuhan itu tidak semua dapat dipasok oleh garam dalam negeri lantaran masalah kualitas. Oleh sebab itu pemerintah terpaksa masih membuka keran impor demi memenuhi tuntutan para pelaku industri yang menggunakan garam sebagai bahan baku.

Jakfar mengatakan, sebaiknya pemerintah tidak hanya fokus pada peningkatan produksi garam tanpa adanya penyediaan pasar yang pasti. Hal itu, menurut Jakfar, membuat semangat petambak membudidayakan komoditas garam menjadi kontraproduktif. "Garam rakyat di lahan masih banyak, tapi produksi mau digenjot. Kalau produksi banyak, ini mau dikemanakan?" kata dia.

Sementara itu, Direktur Kimia Hulu, Kementerian Perindustria, Fridy Juwono, mengatakan, sebetulnya saat ini sudah ada sekitar 500 unit industri kecil dan menengah pengolahan garam. Sementara, untuk skala besar baru terdapat sembilan perusahaan. Fridy menegaskan, Kemenperin dari sisi industrialisasi akan berupaya agar garam lokal bisa memenuhi seluruh kebutuhan dalam negeri.

Namun, ia mengakui hasilnya sejauh ini belum maksimal. Oleh sebab itu, menurut Fridy, kebijakan yang hanya bisa dilakukan oleh Kemenperin saat ini dengan memfasilitasi perjanjian penyerapan garam oleh industri dalam negeri yang kebutuhan garamnya lebih besar daripada untuk sektor konsumsi.

Mengutip data Kemenperin, kebutuhan garam industri tahun 2019 sebanyak 3,5 juta ton. Adapun untuk rumah tangga yang menggunakan garam untuk konsumsi pada tahun ini diperkirakan mencapai 317 ribu ton. Selain itu, ada pula untuk kebutuhan komersial serta peternakan dan perkebunan masing-masing 346 ribu ton dan 20 ribu ton.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement