REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengakui produksi garam rakyat yang dihasilkan oleh petani tidak seimbang dengan volume yang bisa diserap untuk kebutuhan konsumsi dan industri dalam negeri. Karena itu, perlu ada pasar baru yang dapat menampung garam rakyat sembari menunggu perbaikan kualitas agar bisa digunakan sektor industri.
Pelaksana Tugas Asisten Deputi Peternakan dan Perikanan, Kementerian Koordinator Perekonomian, Toni Nainggolan, menuturkan, rata-rata produksi garam secara nasional per tahun berkisar 2,7 juta ton. Adapun rata-rata konsumsi garam rumah tangga per tahun sekitar 600 ribu ton dengan asumsi konsumsi per kapita 2,2 kilogram (kg) per tahun.
Sementara, garam yang bisa diserap industri hanya 30 persen dari total produksi atau sekitar 900 ribu ton per tahun. Dari perhitungan itu, garam rakyat yang terserap hanya sekitar 1,5 juta ton. Sisanya, sebanyak 1,3 juta ton terbengkalai karena tidak memiliki pasar.
"Itulah yang kita harapkan bisa dipakai di sektor lain. Mungkin bisa untuk pembuatan pakan ternak, perkebunan, atau mungkin pengganti es untuk pembekuan," kata Toni di Jakarta, Selasa (24/9).
Hanya saja, kata Toni, pemerintah belum melakukan penghitungan lebih rinci kebutuhan garam untuk ketiga sektor tersebut. Dia mengatakan, persoalan mencari pasar harus dilakukan agar komoditas garam tidak terus menerus mengalami masalah.
Ia menuturkan, sebetulnya rata-rata kebutuhan garam industri per tahun mencapai 2,7 juta ton. Namun, kebutuhan itu tidak semua dapat dipasok oleh garam dalam negeri lantaran masalah kualitas. Industri, kata dia, harus mempertahankan produk yang dihasilkan untuk menjaga daya saing produk di pasar bebas. Karenanya, pemerintah tidak bisa memaksakan.
"Seandainya, garam lokal semuanya kualitas I, kita paksa industri untuk tidak usah impor. Pakai garam lokal. Kita stop impor. Tapi, saat ini baru 30 persen produksi yang memenuhi syarat," kata Toni.
Oleh sebab itu, Toni menuturkan ke depan bukan hanya soal peningkatan produksi, tapi memastikan kriteria garam yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan industri. "Memang ini yang bisa dilakukan untuk menjawab tantangan yang ada supaya garam terserap," kata Toni.
Di sisi lain, pemerintah memandang biaya logistik mesti lebih efisien dengan pemberian berbagai macam insentif. Sebab, untuk mengembangkan garam diperlukan lahan yang memadai dan itu berada di luar Jawa, terutama NTB dan NTT. Sementara, mayoritas industri berada di Pulau Jawa. Toni mengatakan, situasi itu harus didukung dengan biaya logistik yang murah agar harga garam lokal tetap kompetitif.