REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengimbau peternak ayam mandiri untuk mengembangkan produksi yang bernilai tambah. Sehingga apabila terjadi gejolak harga akibat adanya kelebihan pasokan, koperasi mampu menyerap hasil produksi dengan maksimal.
Berdasarkan perbandingannya, contoh koperasi di Indonesia belum dapat menjangkau pasar yang luas tidak seperti koperasi-koperasi lainnya di dunia. Sebagai contoh, Belanda memiliki koperasi sapi perah melalui Frisian Flag yang menjangkau berbagai belahan dunia hingga saat ini. Koperasi tersebut, kata Rusli, mampu mengembangkan nilai tambah produksinya dan diterima pasar.
“Di Indonesia ini koperasi masih cenderung diartikan lembaga simpan-pinjam, jadi belum ada yang besar mengakses pasarnya. Nah, peternak mandiri harusnya melirik ini (produksi nilai tambah),” kata Rusli saat dihubungi Republika.co.id, Senin (23/9).
Dia berpendapat, sumber pendanaan koperasi berasal dari dua sektor yakni iuran wajib dan iuran sukarela per bulan. Hanya saja, apabila pendanaan tersebut hanya habis digunakan untuk aktivitas simpan-pinjam, maka ketika harga ayam bergejolak maka imbasnya bakal merugikan peternak itu sendiri.
Lebih lanjut dia menambahkan, peran pemerintah baik di pusat maupun di daerah perlu lebih agresif lagi mendorong koperasi peternak agar memproduksi yang menghasilkan nilai tambah. Produksi, misalnya, dapat meliputi produksi daging olahan di kelas premium yang belum terlalu banyak dijangkau perusahaan peternakan terintegrasi (integrator).
“Misalnya, pemda (pemerintah daerah) juga mendorong koperasi ini dengan program-program daerah. Seperti wajib konsumsi protein lebih banyak berapa persen bagi siswa, atau program lainnya,” ungkapnya.
Apalagi saat ini, kata Rusli, tingkat konsumsi hewan unggas Indonesia masih rendah. Sehingga apabila produksi nilai tambah dilakukan, selain dapat memasok konsumsi melalui program-program daerah, produksi ayam peternak mandiri pun dapat terserap dengan maksimal.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian (Kementan) yang dihimpun Kementerian Perdagangan (Kemendag), kebutuhan daging ayam ras per kapita tahun 2019 diproyeksi sekitar 12,13 kg per tahun. Atau dalam skala nasional menjadi sekitar 3,25 juta ton per tahun.