REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG SELATAN -- Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hingga saat ini belum juga disahkan. Revisi itu akan berdampak pada bertambahnya kewenangan dan fungsi yang dimiliki Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Karena selama ini peran yang dimiliki baru sebatas penyelidikan.
Komisioner KPPU Guntur Saragih ikut menyindir, karena lambannya proses pengesahan di DPR. Ia bernazar akan menggunduli rambutnya, jika revisi UU Nomor 5 disahkan pada tahun terakhir masa jabatan anggota DPR RI periode 2014 – 2019 saat ini.
“Saya nazar cukur gundul kalau sampai akhir tahun 2019 ini revisi UU Nomor 5 Tahun 1999 disahkan,” katanya di Hotel Mercure Alam Sutera, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Jumat (20/9).
Saragih menjelaskan, dia memahami terkait UU Nomor 5 Tahun 1999 memang dibuat sesuai dengan kebutuhan pada masa itu. Namun seiring perkembangan zaman, maka diperlukan revisi agar apa yang diamanatkan kepada KPPU bisa maksimal dilaksanakan.
“Kita meyakini bahwa pada tahun 1999 ya memang dibuat sesuai dengan pada masa itu. Jadi kita sangat berharap segera direvisi. Kita tidak ngambek walau tak juga disahkan, kita tetap menjalankan tugas sesuai aturan yang ada. Kami sangat berharap amandemen segera terjadi di detik akhir masa tugas DPR saat ini,” ucapnya.
Beberapa poin penting yang masuk dalam revisi UU Nomor 5 tahun 1999. Di antaranya soal ekstra teritorial di mana sebelumnya KPPU hanya berwenang memeriksa pelaku usaha yang berdomisili di Indonesia. Namun saat direvisi, maka kewenangannya diperluas sehingga bisa memeriksa di manapun domisili pelaku usaha.
Berikutnya soal denda yang dikenakan, jika pada UU yang lama, denda itu maksimal hanya sekira Rp 25 miliar. Setelah direvisi, maka KPPU bisa mengenakan denda sebesar 30 persen dari perolehan keuntungan atas persaingan usaha yang tidak sehat itu.
Sementara itu, soal kelembagaan KPPU yang selama ini belum kuat. Banyak pegawai Sumber Daya Manusia (SDM) KPPU yang merasa tak nyaman akibat tak jelasnya status mereka. Hal demikian memicu perpindahan pegawai ke lembaga lain. “Nasib pegawai kami tak jelas, pegawai kami itu mayoritas bukan ASN, jadi statusnya tidak jelas,” tambahnya.