Selasa 17 Sep 2019 17:07 WIB

Ekonom: Kenaikan Harga Minyak Perdalam Defisit Neraca Dagang

Kenaikan harga minyak juga berpotensi mendorong tingkat inflasi

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Harga minyak dunia (ilustrasi).
Foto: REUTERS/Max Rossi
Harga minyak dunia (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, kejadian penyerangan kilang di Arab Saudi semakin mendorong defisit perdagangan sejumlah negara. Khususnya negara-negara net importir minyak seperti Indonesia. Sebab, kejadian tersebut menyebabkan lonjakan harga minyak di dunia.

Di sisi lain, Faisal menambahkan, kenaikan harga minyak juga berpotensi mendorong tingkat inflasi yang tahun ini ditargetkan berada di rentang 3,5 persen oleh Bank Indonesia (BI). Kesinambungan ini terjadi seiring dengan kenaikan harga BBM di dalam negeri.

Baca Juga

"Bagi masyarakat, ini bisa berdampak pada penurunan daya beli," ucapnya saat dihubungi Republika, Selasa (17/9).

Secara tidak langsung, Faisal menjelaskan, kenaikan harga minyak dunia juga akan berdampak pada dunia usaha. Selama ini BBM menjadi komponen utama dalam biaya produksi industri, baik untuk kebutuhan logistik ataupun mesin.

"Dampak berikutnya, daya saing industri semakin tertekan, khususnya di sektor manufaktur," ujarnya.

Salah satu hal yang dapat dilakukan pemerintah saat ini adalah tidak terburu-buru mencabut subsidi energi. Faisal mengatakan, kebijakan subsidi diharapkan dapat mempertahankan daya beli masyarakat. Seperti diketahui, pemerintah akan memangkas anggaran subsidi energi tahun depan.

Terakhir, pemerintah bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR sepakat menggelontorkan subsidi energi sebesar Rp 124,87 triliun dalam postur sementara RAPBN 2020. Angka ini turun dibandingkan yang diusulkan dalam Nota Keuangan RAPBN 2020 oleh pemerintah, yaitu Rp 137,46 triliun.

Selain itu, Faisal menambahkan, pemerintah juga harus membenahi daya saing manufaktur terutama yang berorientasi ekspor. Upaya ini dinilai dapat mendorong akselerasi ekspor.

"Selain itu, menekan ketergantungan impor yang terlalu tinggi melalui pendalaman industri," tuturnya.

Dilansir di Al Jazeera, Senin (16/9), minyak mentah Brent yang menjadi patokan internasional ditutup pada 69,02 dolar AS per barel. Nilai tersebut melonjak 8,80 dolar AS atau 14,6 persen. Kenaikan ini menjadi kenaikan persentase satu hari terbesar sejak setidaknya tahun 1988.

Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) yang menjadi patkan AS berakhir pada 62,90 dolar AS per barrel. Nilai tersebut melompat 8,05 dolar AS atau 14,7 persen yang mencatat kenaikan persentase satu hari terbesar sejak Desember 2008.

Kenaikan harga minyak ini terjadi pasca serangan ke kilang minyak Arab Saudi menggunakan drone alias pesawat nirawak itu pada Sabtu (14/9) dini hari. Dua fasilitas yang menjadi sasaran adalah milik Aramco dan berlokasi di Abqaif (7 juta barel per hari) dan Khurais (1,5 juta barel per hari). Serangan tersebut memicu kebakaran hebat dan menghentikan setengah pasokan minyak Saudi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement