REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran 35 persen. Kenaikan tersebut berlaku mulai 1 Januari 2020 setelah keluarnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pihaknya telah berhati-hati melakukan berbagai macam keputusan, sehingga target-target pendorong pertumbuhan ekonomi pada tahun depan akan tetap terjaga.
“Jadi overall kita tetap akan optimis akan sesuai dengan target inflasi tahun depan dan untuk growth-nya. Kita usahakan dengan instrumen fiskal untuk bisa menetralisir,” ujarnya di Gedung Dhanapala, Jakarta, Senin (17/9).
Menurutnya keyakinan inflasi terjaga karena dalam postur belanja negara pada akhir tahun hingga tahun depan. Adapun postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) pada 2020, asumsi tingkat inflasi mencapai 3,1 persen.
“Semua keputusan yang kita lakukan memang memiliki dimensi yang sangat kaya dan mencari keseimbangan. Tahun depan dilihat dari profile belanja negara, sampai dengan akhir tahun dan tahun depan, belanja negara yang dipakai dan dinikmati oleh masyrakat terutama di kelompok bawah itu meningkat cukup banyak. Kita harap bisa mnejadi penyangga terhadap berbagai policy perubahan yang kita lakukan,” jelasnya.
Apalagi, lanjut dia, pemerintah ingin mengurangi dan mengontrol konsumsi rokok karena berpengaruh kepada kesehatan. Utamanya meningkatkan kebutuhan jaminan sosial untuk kebutuhan sumber daya manusia, sehingga kenaikan tarif cukai rokok tidak mempengaruhi inflasi dan daya beli masyarakat.
“Kita kalau melihat itu tujuan pemberian cukainya untuk mengurangi dan mengkontrol konsumsi. Oleh karena itu, aspek dari kesehatan, penerimaan negara maupun dari sektor produksinya terutama kelompok petani dan pengsuaha kecilnya kita teap harmoniskan dalam kebijakan cukai itu,” jelasnya.