Senin 16 Sep 2019 07:16 WIB

Cukai Rokok akan Sumbang Inflasi Signifikan Tahun Depan

Inflasi kelompok makanan jadi, minuman rokok dan tembakau mencapai 3,91 persen.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Pedagang menunjukan bungkus rokok bercukai di pasar Minggu, Jakarta, Ahad (15/9).
Foto: Republika/Prayogi
Pedagang menunjukan bungkus rokok bercukai di pasar Minggu, Jakarta, Ahad (15/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, rencana kenaikan tarif cukai rokok yang diterapkan pemerintah pada Januari 2020 akan berdampak signifikan pada inflasi tahun depan. Oleh karena itu, pemerintah harus mewaspadai realisasi inflasi yang ditargetkan berada di kisaran 3,1 persen.

Kewaspadaan itu bukan tanpa sebab. Tauhid mencatat, sepanjang 2015 hingga 2018, inflasi kelompok makanan jadi, minuman rokok dan tembakau mencapai 3,91 persen. Nilai tersebut lebih tinggi dibanding dengan inflasi umum, 3,13 persen.

Baca Juga

"Jadi, patut diwaspadai, sepanjang awal 2020, rokok dan tembakau akan sumbang inflasi cukup signifikan," ucapnya ketika dihubungi Republika, Ahad (15/9).

Apalagi, Tauhid menjelaskan, kenaikan cukai rokok terbilang signifikan, yakni 23 persen. Besaran tersebut bisa membuat harga batas atas rokok di pasaran dapat lebih mahal, meskipun pemerintah sudah menetapkan 35 persen untuk harga eceran.

Selain inflasi, Tauhid mengatakan, pengaruh kenaikan cukai rokok juga akan dirasakan pada tingkat kemiskinan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2019, rokok menyumbang 12,22 persen garis kemiskinan di perkotaan dan 11,36 persen di pedesaan. Rokok menjadi kontributor terbesar kedua setelah beras.

Dengan kondisi tersebut, Tauhid mengatakan, kenaikan harga rokok pada 2020 dapat memicu kenaikan tingkat kemiskinan yang kini sudah berada pada rentang single digit. "Jika garis kemiskinan naik maka otomatis penduduk miskin akan berpotensi naik dengan catatan ceteris paribus (hal-hal lain tetap sama)," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, kenaikan 35 persen memang terlihat tinggi. Tapi, angka ini mengompensasi kebijakan pemerintah di tahun ini yang tidak menaikkan cukai rokok. Apabila melihat pertumbuhan moderat 17 persen per tahun, rencana kenaikan yang disampaikan pemerintah adalah wajar.

Tapi, Yustinus menekankan, pemerintah harus memastikan kenaikan cukai rokok ini tidak berdampak negatif terhadap industri rokok yang padat karya. Di sisi lain, perlu diantisipasi juga keberadaan rokok ilegal. "Sekarang saat yang pas untuk memikirkan sungguh-sungguh roadmap sektor ini (rokok)," katanya.

Yustinus menambahkan, pemerintah juga perlu mengontrol tingkat inflasi pascakenaikan cukai rokok. Ia menganjurkan, pemerintah menguatkan program bantuan sosial lain untuk membantu daya beli masyarakat miskin.

Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan kenaikan cukai rokok 23 persen dan harga jual eceran dengan rata-rata sekitar 35 persen. Kebijakan ini berlaku pada 1 Januari 2020 dan akan dituangkan dalam regulasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement